"Selamat datang di kelas memasak!"
Mallory menguap bosan lantas berdecak dengan pelan, meminimalisir suara agar tak ada yang mendengar decakannya di ruangan luas berdinding kayu cokelat tua ini.
Kenapa ia harus berpikir rumit jika ujung-ujungnya akan diadakan demo kelas untuk setiap kelas peminatan yang ada.
Sia-sia saja ia menghabiskan waktu untuk membaca beragam pilihan kelas peminatan yang terdapat di dalam kertas berwarna cream pemberian Tuan Gonalf tadi. Walaupun sebenarnya ia tidak benar-benar membaca seluruhnya, sih-
Tapu ujung-ujungnya ia tetap harus mengikuti demo empat puluh enam kelas peminatan dengan berbagai pelajaran yang berbeda. Catat itu. Empat puluh enam kelas. Bagaimana bisa ia tidak akan bosan nanti?
Ugh, ini akan menjadi waktu yang amat panjang dan melelahkan. Sepertinya Mallory akan merindukan kasur empuk miliknya di hari pertama ini.
"Kita bisa membuat beragam pilihan menu di kelas memasak ini!"
Mallory kembali memusatkan seluruh perhatiannya pada seorang gadis dengan seragam khas Akademi Beverly berwarna navy yang dibaluti celemek berwarna putih gading di depan sana.
Gadis yang ia ketahui bernama Lavena itu tengah melakukan demo kelas memasak pada para murid baru Akademi Beverly, termasuk dirinya. Lavena merupakan murid yang berada pada angkatan satu tingkat di atas Mallory, itu artinya gadis itu telah masuk di akademi sekitar dua tahun lalu.
Akademi Beverly membuka pendaftaran setiap dua tahun sekali dan masa pengajaran entah berapa tahun. Mallory tak begitu mengerti juga tak sempat bertanya pada Kasia maupun Aelia kemarin.
"Terimakasih telah berkunjung di demo kelas memasak! Jangan lupa pilih kelas memasak sebagai kelas peminatan kalian yaa!"
Mallory melangkah keluar mengikuti beberapa murid lain setelah Lavena selesai melakukan demo. Mallory tak begitu mendengarkan gadis dengan celemek warna putih gading itu sedari tadi. Ia tak tertarik dengan kelas memasak.
"Kau masih ingin mengikuti semua demo kelas ini?"
Mallory melirik salah satu gadis dengan gaun biru muda cerah yang tengah berbincang dengan temannya.
"Mau bolos? Langsung ke kelas menjahit saja, bagaimana?"
Mallory menajamkan pendengarannya. Oh, apakah boleh membolos? Jujur saja ia sudah terlampau malas untuk mengikuti setiap demo kelas peminatan yang satu kelasnya saja bisa membutuhkan waktu sekitar 20 menit.
"Selagi Tuan Nalf tidak mengetahuinya, aman-aman saja kan?"
Dua gadis itu saling tertawa pelan, lantas melangkah keluar dari barisan kelas E dan pergi menjauh entah akan menuju kemana.
Sepertinya mereka akan menuju kelas menjahit seperti yang gadis dengan gaun ungu itu katakan tadi.
Jika begitu, Mallory ingin langsung ke kelas memanah saja daripada mengikuti setiap demo kelas peminatan yang amat membosankan ini.
Mallory menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, lantas kembali memandang ke barisan para murid di depannya. Ada beberapa murid yang mulai keluar dari barisan awal dan hanya tersisa beberapa murid lain yang masih setia di barisan guna mengunjungi demo kelas selanjutnya.
Mallory menghembuskan nafas.
Ingin membolos, sayangnya ia tidak tahu tempat dimana demo kelas memanah berada.
"Mallory!"
Mallory menoleh, Kasia terlihat tengah melambaikan tangan padanya di ujung dekat pintu pergantian lorong jauh di sana. Oh, apakah gadis itu memanggil Mallory? Tak mau menunda lagi, Mallory segera keluar dari barisan dan melangkah menuju Kasia di ujung sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Antagonist's Throne
FantasyMallory pikir, hidupnya sudah berakhir. Ya, seharusnya begitu. Namun, kenapa ia malah berada di sini? "Jangan bermimpi untuk menaiki kursi takhta, adik. Sebaiknya, berlatihlah untuk mencium kakiku di masa depan mulai dari sekarang, adikku sayang" Eh...