"Apakah dia selalu berkunjung setiap hari?"
Mallory memandang Luke dan Maela yang tengah berbincang di taman belakang lewat jendela kamarnya di lantai dua.
Dua manusia berbeda gender di bawah sana tengah asik mengobrol seakan dunia hanya milik berdua sedang yang lain hanya mengontrak. Oh, romantis sekali.
Mallory berdecak miris. Tidak di dunianya yang dulu maupun dunianya yang baru ini, hidupnya masih sama saja. Sama-sama tidak mempunyai kekasih.
Besok adalah hari dimana Mallory akan masuk ke akademi. Yah, mungkin itu lebih baik dibandingkan ia harus berada di sini dengan berbagai drama memuakkan Maela.
Mallory mengetukkan jarinya di jendela, membuat suara ketukan pelan yang untung saja tidak disadari oleh dua manusia di bawah sana.
"Luke berusia 14 tahun, kan? Lebih tua satu bulan dibanding Mallory?" gumam gadis yang masih setia mengetuk kaca jendela itu.
"Luke.. dia ancaman besar untukku"
Mallory berhenti mengetukkan jarinya, beralih memandang wajah Luke di bawah sana yang tersenyum simpul menanggapi berbagai celotehan Maela. Ciri-ciri budak cinta, ck ck ck.
"Luke berada di pihak Maela, ya?" tanya Mallory entah pada siapa.
Tentu saja Luke berada di pihak Maela. Melihat bagaimana sikap Luke sekarang yang terus tersenyum mendengarkan setiap celotehan Maela sudah dapat dipastikan jika laki-laki itu memang berada di pihak Maela.
Jika itu benar terjadi, maka mungkin saja Luke dapat berpotensi mengacaukan segala rancangan rencana Mallory di masa depan nanti.
Tujuan Mallory saat ini adalah mendekati Maela, meyakinkan gadis itu bahwa kakak tirinya yang jahat telah berubah menjadi sangat mencintainya.
Mallory ingin mengambil kepercayaan Maela.
Dan ketika kepercayaan itu telah ia dapatkan, maka semuanya akan menjadi lebih mudah bagi Mallory.
Lebih mudah baginya untuk menaiki kursi takhta dan menjadi penerus keluarga Caldwell.
Itu adalah rencananya. Sederhana, bukan?
Tapi Luke-
Dia sangat berpotensi mengacaukan segalanya. Apalagi laki-laki itu sangat tidak menyukai Mallory asli terbukti dari ucapannya kemarin yang sangat menohok.
Mallory meneguk ludah, membasahi tenggorokannya yang kering.
Itu artinya, tugas pertamanya tidak hanya mendapatkan kepercayaan Maela saja, namun juga mendapatkan kepercayaan Luke.
Lalu setelah itu, permainannya akan dimulai.
Mallory menyeringai. Ini pasti akan menyenangkan.
Sedetik kemudian Mallory melunturkan senyumnya. Mendapatkan kepercayaan Luke tidak semudah mendapatkan kepercayaan Maela.
Tidak mudah, atau bahkan tidak mungkin.
Tok tok
Mallory melirik ke arah pintu ketika suara ketukan terdengar dari sana, lantas berucap. "Masuk"
Ceklek
"Selamat siang nona, maaf mengganggu waktu anda. Tuan Besar memanggil anda ke ruangannya, nona"
Seorang pelayan yang jika Mallory tidak salah ingat, dia merupakan pelayan yang memergokinya menguping pembicaraan Maela dan salah seorang pelayan kemarin.
Mallory berdehem. "Ada masalah?" tanya Mallory.
Kenapa tiba-tiba ayah baru nya itu memanggil Mallory ke ruangannya? Apakah Mallory membuat masalah lagi dan pria tua itu akan menasehatinya seperti tempo lalu? Jika memang benar begitu Mallory lebih baik tidak mengunjungi pria itu di ruangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Antagonist's Throne
FantasyMallory pikir, hidupnya sudah berakhir. Ya, seharusnya begitu. Namun, kenapa ia malah berada di sini? "Jangan bermimpi untuk menaiki kursi takhta, adik. Sebaiknya, berlatihlah untuk mencium kakiku di masa depan mulai dari sekarang, adikku sayang" Eh...