"Hadiah pertama? Maksudnya gimana coba?" tanya Tika yang berjalan di samping kiri Sea."Gue juga nggak tau, Mbak. Senyumnya kelihatan ganjil banget. Entah kenapa feeling gue jadi nggak enak." Sea menghela napas sesaat.
Sejak pulang dari kantor penerbitan, Sea bertemu Tika tidak jauh dari arah book cafe. Untung saja sepupunya mau diajak mengobrol sebentar sementara Sea pulang. Dari tadi perasaan Sea sedikit terusik. Serasa ada yang mengganjal.
Ingatannya terus terlempar pada pembicaraan dengan Sea di lorong kamar mandi. Bahkan saat kembali menemui rekan-rekan di meja restoran, Sea merasakan kecanggungan yang luar biasa. Senyum Langga tampak demikian misterius.
"Jangan-jangan ...." Tika menatap ngeri ke arah Sea. Telapak tangannya urung mendorong pintu kaca kafe.
"Apanya, Mbak? Jangan bikin gue takut, dong."
"Dia mau balas dendam sama lo, Se. Tentang hari itu, pas lo nipu dia maksudnya."
Sea nyaris tergelak karena ucapan sang sepupu. Ia mengibaskan tangan di depan wajah seraya terkekeh pendek. "Nggak mungkin, lah. Gue udah minta maaf, jadi mada iya dia mau balas dendam? Kekanakan banget nggak, sih? Gue coba positif thinking, Mbak. Ini penulis pertama yang harus gue tangani, tapi lo tau nggak? Gara-gara ini, gue jadi punya tujuan lain."
"Tujuan apa?" Kedua alis Tika bertaut menyisakan keheranan akibat ucapan Sea.
"Mau jadi editor tetap mereka." Sea nyengir lebar penuh percaya diri.
"Gue emang nggak heran sama kepercayaan diri lo, Se. Ya udah, yang penting lo kerjanya bener. Mau masuk dulu? Makan aja di sini sekalian," tukas Tika menawarkan.
"Nggak usah, Mbak. Gue langsung balik. Mau ngasih tau Nyai Ratu tentang pekerjaan ini. Semoga aja dia nggak cerewet minta gue ikut kencan buta lagi. Gue udah muak, capek."
Sea dan Tika berpisah sesaat setelah si empu kafe masuk membawa keranjang belanjaan. Jarak dari rumah ke kafe milik keluarga Tika tidak terlalu jauh. Masih bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Sea terus berusaha berpikir yang positif. Semoga saja ucapan Tika tidak benar-benar terjadi.
Pembalasan dendam? Terdengar agak keterlaluan. Walaupun sebenarnya hal itu bisa saja terjadi. Sea tidak terlalu mengenal Langga, tidak ada yang tahu kalau ternyata misalnya sang Pemred adalah tipe pendendam sejati. Sea bergidik ngeri membayangkannya.
"Nggak apa-apa, Se. Lo harus berpikir yang baik-baik. Masa Pak Langga kurang kerjaan banget ngerjain editornya sendiri. Nggak mungkin," katanya menghibur diri sendiri seraya tertawa singkat.
"SEANA!"
Perempuan berambut bergelombang yang diikat longgar langsung menoleh ke sumber suara. Dari arah gerbang rumah yang hanya sebatas pinggang orang dewasa, Niken terlihat berdiri seraya berkacak pinggang. Sea ngeri sendiri melihat ekspresi ibunya yang menguarkan api kemarahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Editoromance√
RomanceSea bermimpi menjadi editor profesional. Namun, di usia ke 24, ibunya mendesak agar Sea ikut kencan buta. Demi menghindari kencan buta, ia meminta seseorang menggantikannya. Ternyata itu tidak berjalan lancar karena rencana tersebut gagal total. Ke...