"Jangan membuang-buang waktu untuk memikirkan hal konyol. Apalagi mau melibatkan diri untuk masalah orang lain. Kamu nggak bisa ikut campur."Walaupun Sea berusaha tidak mengingat-ingat perkataan Langga kemarin, tetapi pikirannya seakan-akan otomatis teringat. Sudah jauh bus berjalan, tetapi perasaan Sea makin tidak karuan.
"Se, lo ke sana cuma mau memastikan anaknya Mbak Anjani baik-baik aja. Bukan buat ikut campur masalah rumah tangganya," tukas Sea berusaha berpikir positif atas tindakan yang diambilnya.
Akhir pekan ini, lebih tepatnya pagi-pagi sekali, Sea berpamitan pada Niken. Rencananya adalah bertandang ke tempat mantan suami Mbak Anjani. Ia datang ke sana bukan untuk mengajaknya berbicara atau apa pun itu. Sea hanya ingin memastikan anak Mbak Anjani baik-baik saja. Kalau bisa, ia akan memotret foto untuk wanita itu.
Kemarin Mbak Anjani menangis tersedu-sedu menyesali perbuatannya yang nekat melompat dari lantai atas rumah sakit. Hal itu dipicu karena anaknya yang dibawa kabur oleh sang mantan suami. Mbak Anjani sangat ingin melihat sang anak dan memastikannya baik-baik saja. Maka Sea dengan penuh keberanian berkata ingin menolong.
Bukan, maksud Sea bukan menolong untuk berbicara dengan sang mantan suami Mbak Anjani. Melainkan memastikan si anak dalam kondisi baik dan sehat. Jadi, Sea diam-diam akan pergi ke alamat yang sudah diberikan oleh Mbak Anjani. Selain itu, Mbak Anjani juga berjanji akan menekan kontrak dan bersedia menerbitkan naskahnya di Star Media.
Tentu saja Sea tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Bukankah selama ini Langga juga bersikeras ingin menjadikan Mbak Anjani penulis Star Media?
"Oke, Sea. Nggak apa-apa. Lo cuma harus melihat anak itu dan pulang. Bukan buat bantuin mereka berdamai karena lo nggak punya hak ikut campur urusan orang lain," gumam Sea.
Ia baru saja tiba di daerah perumahan yang sempit. Gang-gang kecil rusak di beberapa titik dan agak becek. Di sisi pemukiman, terlihat aliran sungai yang kecoklatan dengan sampah menggunung di bantaran.
"Ojek, Neng?" tawar seorang pria berperawakan kekar dengan kumis tebal.
"Nggak, Pak." Sea ngeri sendiri melihat ukuran otot para tukang ojek di pangkalan dekat bibir gang paling ujung. "Oh, saya mau tanya alamat."
"Coba saya lihat." Si pria berkumis tebal meraih kertas di tangan Sea.
Untuk sesaat alisnya menyatu heran. Pria itu kemudian menoleh pada kedua rekannya yang berambut gondrong. Mereka lebih terlihat seperti preman alih-alih tukang ojek.
"Mbaknya tumben ke sini, ya?" tanya si gondrong yang ada di sebelah kiri pria berkumis.
Ya elah, pake nanya. Sea menyengir dan mengangguk sesaat. "Tau alamatnya nggak, Pak?"
"Neng masuk aja ke gang di ujung ini. Terus lurus, ntar ketemu warung kelontong yang temboknya bercat ungu. Nah, alamat ini ada di belakangnya," jelas di pria berkumis
KAMU SEDANG MEMBACA
Editoromance√
RomanceSea bermimpi menjadi editor profesional. Namun, di usia ke 24, ibunya mendesak agar Sea ikut kencan buta. Demi menghindari kencan buta, ia meminta seseorang menggantikannya. Ternyata itu tidak berjalan lancar karena rencana tersebut gagal total. Ke...