Eps 6: The Event

1K 92 8
                                    

Setelah selesai menyeruput kopi pagi yang masih hangat, Langga mengambil dua lembar roti tawar yang telah ditumpuk dan diolesi selai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah selesai menyeruput kopi pagi yang masih hangat, Langga mengambil dua lembar roti tawar yang telah ditumpuk dan diolesi selai. Tangannya tidak beralih dari gawai, memeriksa kabar terbaru yang dimuat pada internet atau sosial media. Kabar mengejutkan datang dari dunia literasi, tentang para penulis besar yang ternyata kedapatan mencuri ide orang lain. Miris.

Langga mengunyah sarapan berupa setangkup roti. Selalu sama setiap pagi. Maklum masih lanjang. Rumah minimalis berlantai dua miliknya hanya dipadati dengan perabotan, tidak ada suara cerewet istri di dapur dan tidak ada suara anak-anak yang rewel di pagi hari.

Benar pula. Usianya akan menginjak angka tiga puluh di tahun tersebut. Namun, Langga masih terlalu sibuk dan enggan mencari calon istri. Prioritasnya sekarang adalah naik bersama Star Media. Membuktikan pada Bahtiar bahwa ia bisa tanpa harus bergantung pada keluarga. Langga tidak akan menyerah meski papanya terus meremehkan.

Ponsel di samping cangkir kopi menyala menampilkan pesan masuk. Random saja dari grup-grup penerbit atau rekan editor lain. "Udah jam segini. Lebih baik saya segera berangkat," gumam pria berlengan kekar tersebut.

Langga merampas coat panjang berwarna hitam di atas sandaran kursi. Akhir tahun sebentar lagi dan musim hujan akan segera tiba. Cuaca sudah mulai tidak bersahabat meski hujan belum sempat turun. Udara sekitar mulai terasa dingin.

"Pagi, Pak Langga," sapa beberapa ibu-ibu yang melintas di depan rumah untuk lari pagi.

Langga yang baru membuka gerbang rumah langsung memperlihatkan senyum tipis. "Pagi, Ibu-ibu."

"Pak Langga betah amat jomblonya. Kami pengin lihat mbak-mbak bukain pintu di rumah Pak Langga. Iya, 'kan, Ibu-ibu?" Salah satu di antara mereka menyeletuk.

"Iya, betul," ucap yang lain menimpali. "Pak Langga sama anak saya aja kalau nggak keberatan."

"Anak Ibu, kan, masih SMA." Langga tersenyum kikuk menanggapi.

"Gimana, sih, Bu? Astaga." Seorang ibu bertubuh gempal langsung merespons. "Sudah, nggak usah ganggu Pak Langga. Orang mau berangkat kerja. Ayo, lanjut semuanya!"

"Duluan, Pak Langga. Mari."

Ibu-ibu tersebut dengan kompak berpamitan dan menjauh dari hadapan Langga. Senyum tipis Langga terlukis setelah kembali ke mobil. Begitulah rutinitas paginya, disapa ibu-ibu, dimintakan istri, atau ditawari jadi calon menantu. Sejak pindah ke daerah tersebut karena dekat dengan Star Media, Langga jadi dekat juga dengan ibu-ibu tadi dan beberapa warga sekitar.

Pria berusia 29 tahun tersebut segera membawa kendaraannya keluar dari halaman rumah. Karena tidak ada penjaga, ia harus bolak-balik menutup gerbang. Namun, Langga melakukannya dengan sabar. Nasib bujangan.

Berkendara menuju Star Media juga tidak terlalu memakan waktu lama. Jika macet palingan akan bertambah lima atau enam menit saja. Untung pagi itu jalanan tidak terlalu ramai. Hingga mobilnya melaju dengan mulus sampai tiba di depan gedung tempat kantor Star Media.

Editoromance√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang