Extra Chapter: Sayang Mantan

1.1K 41 3
                                    

—SELAMAT MEMBACA—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

—SELAMAT MEMBACA—

Melelahkan. Satu kata yang menggambarkan hari ini. Sebenarnya setiap hari selalu sama, melelahkan. Setidaknya bagi Raki. Ia harus berjuang bukan hanya demi pekerjaan. Namun, demi hati yang masih basah oleh luka. Ah, anggaplah terlalu lebay untuk seorang pria dewasa sepertinya. Namun, patah hati bukankah sama saja? Menyedihkan.

Kapan terakhir kali Raki bisa makan dan minum kopi dengan tenang? Menikmati permainan gitar atau sekadar bernyanyi di kafe milik sahabat lamanya dengan suasana hati yang damai? Entah kapan. Rasa-rasanya, mendengar semua musik milik Linkin Park saja tidak seantusias dulu. Gila, gila, patah hati sangat menyeramkan. Raki kehilangan minat pada apa yang disukai.

Bolehkah ia makin berlebihan? Semenjak kejujuran sialan itu menyapa indra pendengarannya, seluruh tubuh Raki serasa mati rasa. Sampai detik ini, ia  masih menjadi lelaki brengsek yang berusaha mencari orang lain pada diri seorang wanita.

"Kita sampai di sini aja, Mas."

Ah, menyebalkan! Mengapa seenaknya perempuan itu berkata demikian. Padahal sudah bertahun-tahun—dari sejak zaman Sekolah Menengah Pertama—mereka saling mencintai. Apa benar cinta yang dipupuk lama akan ada masa kadaluwarsanya?

"Mama pengin aku nikah sama orang lain. Maaf, Mas. Aku nggak bisa nolak. Lagi pula, di kantor juga nggak ngebolehin sesama rekan buat pacaran."

Sialan, sialan! Makin diingat, kian menggelegak amarahnya. Raki meradang malam itu, wajah perempuan yang dicintainya terus terngiang-ngiang.

"Raki, ada apa?"

Ah, siapa lagi, sih?

Raki bangkit dari kasur setelah menyingkirkan lamunan tentang masa lalu. Sampai detik ini ia tidak akan bisa menyingkirkan perempuan itu. Tidak. Alasannya terlalu sepele menurut Raki.

Ia pergi ... pergi memilih laki-laki yang diinginkan orang tuanya.

"Lo nggak apa-apa, Ki? Tadi gue denger ada benda jatuh keras banget," ucap lelaki berperawakan kekar yang mengetuk rumah atap miliknya.

"Oh, ada kucing," jawabnya asal. Padahal tadi dia yang menendang beberapa bekas kaleng minuman sampai berceceran ke lantai, lalu menjatuhkan tubuh ke kasur.

"Yakin?" Pria itu melongok dari pintu.

"Iya, Mas. Cuma kucing."

"Ya udah, lo istirahat lagi. Gue ke bawah dulu."

Sepeninggal pria tadi, Raki menghela napas berat. Tidak lagi berjalan masuk, melainkan duduk pada dipan rendah berukuran lebar yang ada di depan pintu rumah atap. Rumah yang disewanya pada Mas Gibran—pria tadi sekaligus pemilik toko di bawah.

Editoromance√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang