1+4=5

58 15 103
                                    

Sesampainya di kantin, Nigella telah duduk di kursi. Habba pun sedang memesankan makanan untuk dirinya dan Nigella. Selesai memesan, Habba langsung membawa dua mangkuk soto ayam berserta dua gelas es teh. Sudah duduk di hadapan Nigella, Habba tersenyum manis. Kini dia bertopang dagu sembari menatap Nigella.

“Kita makan dulu atau bicara yang tadi?” tawar Habba.

“Dua-duanya saja,” jawab Nigella.

Habba hanya mengangguk lalu menggeser mangkuk dan gelas kepada Nigella. Dia pun langsung saja menyantapnya begitu pula Habba.

“Jadi … apa yang  membuatmu bisa langsung masuk, Habba?” tanya Nigella.

“Nilai sainsku yang ada di luar sekolah tinggi, Nigella,” jawab Habba lalu menyendok sotonya dan memasukkan ke dalam mulut.

“Maksudnya di luar sekolah?” tanya Nigella bingung.

“Aku suka ilmu sosial tapi aku tertarik ke ilmu sains juga. Jadi biar adil. Aku sekolah masuk jurusan IPS, di luar aku mengikuti privat sains dan perlombaan secara online. Nah, di saat aku daftar kemarin, Pak Jaka—kepala sekolah SMA Jingga Awana langsung menawarkan itu. Terus, aku berdiskusi sama Papa dan Mama terlebih dahulu, mereka pun setuju. Akhirnya, aku tanda tangan sesuai perjanjian lalu bergabung, deh,” cerita Habba.

“Oh. Maaf Habba aku sudah menuduhmu,” kata Nigella.

“Nggak masalah. Pada kenyataannya kebanyakan seperti itu ‘kan? Jalur orang dalam. Ya, meski pun ibaratnya dia pantas mendapatkan itu. Namun, tenang, kok. Semua itu bisa disanggah dengan usaha tidak mengkhianati hasil,” ujar Habba.

“Iya, sih. Cuma gedek saja Habba. Orang yang biasa-biasa saja berasa taka da kesempatan,” gerutu Nigella.

“Memang ada di sekolah ini yang ikut proyek itu jalur orang dalam?” tanya Habba.

“Ada,” jawab Nigella.

“Siapa?” tanya Habba.

“Cencen atau Cendana Abizar anaknya Pak Jaka. Padahal, dia di laboratorium itu malas-malasan,” ujar Nigella.

“Kenapa malas?”

“Dia terpaksa katanya,” jawab Nigella.

Belum sempat Habba menjawab lagi, tiba-tiba Logari datang dan langsung duduk di samping Nigella. Dia pun tersenyum kepada Habba.

“Kamu yang tadi ‘kan?” tanya Habba. “Oh, ya. Namamu siapa?"

“Logaritma Bintang Azany,” jawab Logari.

“Wah, orang tuamu suka matematika?” tebak Habba.

“Iya, tapi malah jadi guru BK dan polisi,” jawab Logari.

“Polisi? Siapa namanya?” tanya Habba.

“Abraham Abimayu,” jawab Logari.

Habba hanya ber-oh ria lalu menyantap makanannya lagi.

“Memang kenapa?” tanya Logari penasaran.

“Tak apa. Tanyakan saja ke beliau kenal tidak sama aku,” sahut Habba.

“Kamu bekas buronan, ya?” tebak Logari curiga.

Jawaban Logari membuat Habba tertawa.

“Bukan,” sanggah Habba.

“Oke. Aku akan tanyakan sendiri. Dasar! Sok misterius kamu,” cerca Logari.

Respons Habba hanya tertawa mendapat cercaan itu.

**

Di sisi lain, Pak Jaka sedang bersama Cendana di taman belakang sekolah.

“Apakah pemegang utama proyek itu sudah kamu dapatkan, Cencen?” tanya Jaka.

“Bisa tidak, Pa, aku nggak dituntut seperti itu?” tanya Cendana balik.

“Menjadi yang terdepan itu penting, Cencen,” sanggah Jaka.

“Iya. Itu memang penting, Pa. Namun, tanggung jawabnya besar,” elak Cendana.

“Kamu nggak sanggup?” tanya Jaka.

“Menurut, Papa?” ucap Cencen lalu meninggalkan papanya begitu saja, tetapi baru beberapa langkah dia berhenti tanpa berbalik badan. Cencen membelakangi sang papa. “Papa kenapa memasukkan murid baru itu ke sana?”

“Dia memenuhi persyaratan, Cencen,” jawab Jaka.

“Apakah Papa tidak merasa terancam?” tanya Cencen.

“Tidak. Buat apa?” elak Jaka.

Cencen tidak menjawab lagi, responsnya hanya tertawa sinis lalu melanjukan langkahnya. Jaka pun hanya menghela napas sembari memandang punggung sang anak yang kian menjauh darinya.

****

Cinta Ini Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang