1+18=19

38 16 55
                                    

Rasyid pun tersenyum manis atas pertanyaan Habba lalu dia menatapnya lembut. “Pendapat Papa, sih. Lanjutkan Habba. Tanggung jawablah atas keputusan dan apa yang telah kamu mulai. Selesaikan dengan baik meski itu belum tentu hasilnya baik. Namun, terlepas dari itu Habba. Kamu pasti akan tahu makna apa yang ada di balik itu semua.”

“Terus bagaimana dengan Nigella dan Cencen, Pa? Aku kenal mereka baru sehari. Namun, kerja sama itu sudah memunculkan ikatan,” kata Habba.

“Ikatan itu disebut teman ‘kan?” tanya Rasyid.

Habba hanya mengangguk lalu menunduk. Respons Habba membuat Rasyid mengulurkan tangan kanannya untuk mengelus kepala sang anak.

“Papa tahu kamu khawatir sama mereka atas keselamatannya, tetapi misal kamu berhenti. Apakah semua akan selesai? Atau … malah tambah runyam? Habba, Papa dan Mama senang kamu selalu terbuka kepada kami, tetapi kamu juga punya privasi ‘kan? Dan itu dapat kita pahami,” sambung Rasyid.

“Lalu?” tanya Habba. Kini, dia mendongak menatap Rasyid.

“Apa yang kamu ambil dari awal dan kamu mempunyai itu rawatlah dengan sungguh-sungguh biar dia tumbuh,” sambung Rasyid. Dia membalas tatapan Habba dengan lembut dan melepas elusan itu dari kepala Habba.

Deg!

Hati Habba menjadi lega atas penuturan Rasyid. Akhirnya, dia paham juga apa yang harus dia putuskan perihal masalah ini. Habba telah mengambil apa yang dia mau. Maka dari itu, Habba akan bertekat untuk melanjutkan proyek ini. Tantangan ke depannya, dia hadapi saja dengan hati dan logika yang selaras. Habba yakin, dirinya hanya perlu menjalani dan berusaha sebaik mungkin. Hasil akhirnya, kita jemput lagi. Pasti nanti akan ada maknanya. Makna yang berharga di sana.

“Baik, Pa. Habba mengerti. Habba akan lanjut,” ucap Habba sungguh-sungguh.

“Bagus. Namun, itu dari diri dan hatimu ‘kan Habba bukan karena Papa?” tanya Rasyid memastikan.

Habba menggeleng, dia tersenyum kepada sang papa.

“Ini mauku, Papa. Ini tekatku bukan demi siapa pun. Hanya saja … Habba ingin terus belajar jadi manusia baik, Papa. Meski itu nggak mudah dan harus berawal dari diri sendiri dulu,” ungkap Habba.

“Membahas hal itu, Habba berbuat baik belum sama diri sendiri?” tanya Rasyid.

“Sudah. Habba bahagia meski hidup terkadang tidak sesuai keinginan, tetapi Habba tahu. Itu proses kita belajar jadi manusia yang sebenarnya. Habba sudah bisa, kok, memilahnya antara digunakan, menyaring dan membuang,” ujar Habba. “Semua itu, Habba belajar dari Papa dan Mama. Terutama Mama, Pa.”

“Terima kasih Habba sudah sejauh ini. Papa bangga sama kamu,” sambung Rasyid. “Ada lagi yang perlu Papa kasih pendapat?”

“Sudah, Pa. Itu cukup. Terima kasih, ya,” ucap Habba.

“Sama-sama. Papa keluar, ya, kalau gitu?” pamit Rasyid.

Habba hanya mengangguk seraya tersenyum. Usai papanya keluar kamar dan menutup pintu. Habba beralih menatap smartwatch-nya yang sedang dicas. Lantas, dia mengecek. Ternyata baterainya sudah penuh. Akhirnya, Habba mencopot pengisi beterai itu. Sedetik kemudian, Habba menyentuhkan jari telunjuk tersebut ke sana dan berubahlah dia menjadi pedang sinar berbentuk gunungan wayang.

“Syukurlah aman. Nggak perlu diperbaiki. Meski peluru tadi, peluru biasa. Namun, tekanan tembakannya besar. Khawatir aku sama kamu,” kekeh Habba sambil memegang pedang itu. Jika smartwatch tersebut diubah dalam keadaan tidak dipasang di pergelangan tangan. Habba tinggal menyentuhkan jari telunjuknya saja. Namun, bila terpasang di pergelangan tangan, jari Habba harus menunjuk untuk merubahnya menjadi pedang. “Sekarang sinar pelindungnya.” Habba tinggal menyentuhkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke sana. Perubahan benda itu ketika menjadi smartwatch kembali cuma butuh satu detik saja. Akhirnya, smartwatch itu memancarkan sinar lantas menyinari seluruh ruang kamar Habba. Benda tersebut, punya sensor otomatis membaca keadaan penggunanya. Jadi dia paham, sesuai apa yang telah difungsikannya. Tentu saja dengan data Habba yang telah ditranfer di sana. Jadi, hanya Habba-lah yang dapat menggunakannya. Habba, saat benda itu di pergelangan tangannya. Tinggal mengacungkan jari telunjuknya jika ingin mengubah smartwatch itu menjadi pedang, begitu pula jika Habba ingin mengubahnya menjadi sinar pelindung. Dia tinggal mengacungkan dua jarinya saja.

**

Santia yang selesai dari toilet. Kini, dia duduk berayun di tepi kasur dengan membaca map berwarna hitam. Hal itu, diperhatikan oleh Roko sedari tadi yang berdiri di depan pintu seraya menyenderkan tubuhnya di sana. Dia pun tersenyum memandang Santia.

“Sayang?” panggil Rasyid lembut.

Panggilan itu membuat Santia mendongak dan tersenyum. “Iya, Sayang.”

Setelah itu, Rasyid menghampiri Santia dan duduk di sampingnya.

“Map itu lagi?” tanya Rasyid.

Santia hanya mengiakan.

“Anak kita tumbuh dengan baik, Sayang. Dia sudah mengambil keputusan secara bijak,” kata Rasyid. “Karyamu ini tidak sia-sia. Dia tetap bermanfaat meski hanya Habba saja yang bisa menggunakannya.”

Ya, map hitam yang dibaca Santia berisi kerangka smartwatch ciptaannya. Santia sengaja merancang ulang benda itu setelah dia memutuskan menarik peredaran penjualan. Rancangan tersebut, diubah dari yang bisa digunakan oleh banyak orang tanpa sistem transfer data pemiliknya. Lantas, usai keputusan itu disetujui. Rancangannya diubah menjadi transfer data pemiliknya saja baik yang dijual secara resmi mau pun ilegal. Jadi, bisa memutus peredaran luasnya.

“Terima kasih dukungannya, Sayang,” ucap Santia.

“Aku juga berterima kasih, Sayang. Kamu sudah selalu mendukungku,” jawab Rasyid. “Habba tadi sudah cerita semuanya. Sekarang giliran kamu. Mau cerita apa hari ini?” tanya Rasyid.

“Cuma mau cerita Habba, sih, Sayang. Namun, kalau Habba sudah cerita semuanya sama kamu. Nggak ada lagi yang perlu diceritain,” ujar Santia.

“Ya, sudah. Kalau gitu, aku saja, deh, yang tanya,” balas Rasyid.

“Tanya apa, Sayang?”

“Organisasi Damar Aksana, salah satu anggotanya apakah menghubungimu?”

“Nggak. Hanya saja aku bingung sebenarnya.”

“Dia meneror proyek Andala Muda?”

Santia hanya mengangguk.

“Bukan Habba dan Nigella yang mereka incar sebenarnya. Namun,…”

“Namun, apa, Sayang?” tanya Santia.

Belum sempat Rasyid menjawabnya, tiba-tiba handphone Rasyid berdering. Ada telepon di sana. Dia pun langsung saja ke meja nakas untuk mengambilnya buat mengangkat telepon tersebut. Ternyata dari editor naskah novel fiksi sejarah berbahasa Jawa-nya yang akan diterbitkan. Novel fiksi sejarah berbahasa Jawa itu, awalnya hanya Rasyid publish di blog saja.

“Sayang, aku pergi dulu ke kantor penerbit, ya?” pinta Rasyid.

“Malam-malam begini, Sayang?” tanya Santia.

“Iya, kamu mau ikut?” tawar Rasyid.

“Nggak, deh, Sayang. Aku tidur saja, ya?” pinta Santia.

Rasyid hanya mengangguk dan tersenyum. Setelah selesai bersiap, Rasyid mencium kening Santia lalu bergegas pergi. Santia hanya tersenyum memandang punggung Rasyid yang menghilang di balik pintu kamar. Beberapa detik kemudian, suara deru mobil terdengar. Mendengarnya, Santia hanya menghela napas pelan. Sebelum tidur, Santia mengembalikan map hitam tersebut ke rak dengan berjalan menggunakan kedua tongkatnya.

*****

  

Cinta Ini Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang