Pagi ini Habba sudah siap dengan seragam batik jingganya yang dipadukan sama celana panjang dan dasi warna abu-abu, dilengkapi sepatu sekolah putih tak lupa smartwatch yang bertengger di pergelangan tangan kirinya. Dirasa sudah rapi, Habba menggendong tasnya keluar dari kamar menuju meja makan untuk melangsungkan ritual sarapan pagi bersama kedua orang tuanya. Namun, tiba-tiba senyumnya mengembang ketika dia melihat seseorang yang tengah berbincang bersama Santia di sana.
“Rilani?” panggil Habba senang. Rilani adalah keponakannya yang masih SMP kelas delapan anak dari Tante Oci, sang tante juga ada di rumahnya pagi ini.
“Abang!” sahut Rilani lalu menghampiri Habba dan memeluknya sayang. Sebenarnya, sesuai silsilah keluarga. Habba harus dipanggil dengan sebutan Om oleh Rilani. Namun, Habba sendiri menolak karena dia merasa geli dengan panggilan itu. Alhasil, Rilani memanggil Habba dengan sebutan ‘Abang’ lantas hal itu disetujui oleh Habba.
“Rilani, ya, ampun. Betah amat, sih, sama Om Billar?” tanya Habba setelah melepas pelukannya.
“Cuma seminggu, doang, di Amerika. Papa, sih, kerjanya di sana,” gerutu Rilani.
“Nggak apa, Rilani. Nanti juga balik ke Indonesia selain kerja beliau juga bertugas ‘kan?” tanya Habba, kemudian duduk di kursi begitu pula Rilani.
“Om-mu itu, Habba. Dia masih meluruskan karyanya di sana,” kata Oci.
“Maksud Tante perihal kerak telur?” tanya Habba.
“Iya. Di sana om-mu juga ingin mengenalkan kebudayaan Indonesia dalam hal makanan. Eh! Malah dikira plagiat dengan salah satu pedagang roti,” gerutu Oci.
Mendengarnya Habba geleng-geleng kepala heran. Ada-ada saja manusia di dunia ini. Padahal jelas beda, kerak telur itu hanya satu jenis yaitu berbentuk lingkaran dan tipis, sedangkan roti ada yang tipis dan tebal, bentuknya pun berbagai jenis. Pekerjaan Om Billar adalah pedagang makanan di sana. Lantas tugasnya mengenalkan kebudayaan Indonesia dalam bidang makanan agar dapat dikenal secara luas.
“Memang begitu, Tan. Kebudayaan kita beragam, tetapi sayangnya kita tidak meng-³nguri-nguri-nya secara baik,” sahut Habba.
“Pengenalan kebudayaan kita di luar negeri itu memang sangat bermanfaat. Namun, jika kita lengah sedikit saja. Dia akan diambil,” sambung Oci.
Habba pun hanya mengangguk lalu dia mulai mengambil nasi dan lauk untuk sarapan. Namun, baru saja dia menyuap satu sendok. Senyuman Rilani kepadanya membuat Habba curiga.
“Kenapa?” tanya Habba menaikan satu alisnya.
“Nggak. Nggak apa, kok, Bang,” jawab Rilani.
Jawaban itu membuat Habba tertawa kecil. Selesai mengunyah makanannya, Habba menyendok sedikit nasi dan pauk lalu mengarahkannya kepada Rilani yang masih memandang Habba. Perlakuan tersebut memunculkan senyuman manis di bibir Rilani.
“Abang aku ternyata peka juga, ya?” ledek Rilani lalu membuka mulut dan makanan itu masuk ke dalamnya.
Si pelaku pun hanya terkekeh. “Ngomong, dong, kalau mau disuapin. Nunggu akunya peka.” cerca Habba.
“Biarin!” ledek Rilani selesai menelan makanannya dan Habba pun melanjutkan sarapan yang sedikit tertunda tadi. Akhirnya, Rilani memutuskan untuk sarapan juga.
Tingkah kedua saudara itu membuat Oci dan Santia tertawa. Entahlah ada-ada saja bahan yang dibahas. Setelah Roko datang, Santia dan Oci menyusul kedua remaja itu sarapan.
“Habba, bagaimana hasil pendaftaran bela dirinya?” tanya Roko.
“Keterima, Pa,” jawab Habba.
“Biayanya berapa? Papa tebak, buat beli seragamnya,” ujar Roko.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Ini Milik Kita
General FictionSesampainya di gedung. Mereka langsung saja masuk dan menuju laboratorium Andala Muda. Sebenarnya, tadi mereka heran. Mengapa pintu lab terbuka? Padahal, biasanya ada orang di dalam pun pintu itu tetap tertutup dan mereka yang ingin masuk harus menj...