“Kemarin sebenarnya saya tidak percaya, lho, kalian mama dan anak. Saat mengambil berkas data Bu Santia. Lebih pantas kalian itu kakak dan adik,” kekeh Dokter Arga. “Baby face gitu.”
Habba dan Santia pun hanya merespons dengan tertawa, kemudian Santia langsung saja memulai terapi. Sebenarnya, terapi ini hanya bisa mencegah otot-otot Santia agar tidak semakin kaku sehingga mempermudah dia beraktivitas. Sebab, penyandang cerebral palsy tidak akan bisa normal seperti manusia pada umumnya. Apalagi, di kasus cerebral palsy karena lahir prematur. Santia memilikinya sejak lahir, belum genap enam bulan dia harus melihat dunia.
**
Dua jam telah berlalu, terapi pun sudah selesai. Habba dan Santia, kini tengah makan di kafe dekat rumah sakit. Santia menyantap salat sayurnya dengan perlahan, begitu pula Habba yang sedang memakan ikan gurame bakarnya.
“Ma, cerita sekarang, yok! Habba penasaran banget,” kata Habba, setelah menyuap potongan daging ikan guramenya.
“Oke, Mama cerita,” sahut Santia lalu berhenti makan dan menatap anaknya.
Smartwatch SNT adalah ciptaan Santia saat masih duduk di bangku SMA lebih tepatnya kelas sebelas. Waktu itu, langsung dinaungi PT Sahabat Tekno Indonesia bersama organisasi Damar Aksana. Nah, karena alat tersebut sangat bermanfaat. PT Sahabat Tekno Indonesia sanggup memproduksi masal. Berkat alat itu, tingkat kejahatan khususnya pencurian berhasil menurun. Namun, tiba-tiba alatnya malah disalah gunakan.
“Disalah gunakan untuk apa, Ma?” tanya Habba.
“Yang awalnya mencegah kejahatan malah digunakan untuk melakukan kejahatan, Habba,” jawab Santia.
“Terus, apa hubungannya dengan pendidikan Mama?” tanya Habba heran.
Mendengar pertanyaan itu, Santia menghela napas.
“Kalau Mama terima beasiswa dari negara. Namun, negara meminta tetap memproduksi alat itu. Apakah Mama sanggup melihat perilaku kejahatan semakin meningkat karena alat yang diciptakan Mama?” tanya Santia.
“Jangan bilang ada perdangangan ilegal juga, Ma?” tanya Habba.
“Betul itu Habba, bahkan malah lebih banyak terjual yang ilegal daripada yang resmi,” sahut Santia.
“Itu bukan cuma Mama yang rugi, tetapi negara juga.”
Santia hanya mengiakan.
“Keputusan Mama tepat, kok. Kalau Habba di posisi Mama, Habba juga bakal gitu.”
“Terkadang hal yang kita ciptakan baik. Belum tentu hasilnya juga baik, Habba. Apalagi … mencangkup banyak orang. Kecewa jelas, tetapi jika keputusan itu tepat dua sisinya. Kamu akan lega, percaya, deh,” ucap Santia.
Habba hanya mengangguk. Namun, dia teringat tentang organisasi Damar Aksana.
“Ma, Habba boleh tahu tentang organisasi Damar Aksana?” tanya Habba hati-hati.
Santia yang mendengar permintaan sang anak hanya tersenyum dan mengangguk.
Senyuman sang mama membuat Habba menghela napas, gerak-geriknya terbaca oleh Santia. Dia pun menggenggam tangan Habba.
“Ada apa, Sayang?” tanya Santia lembut.
“Mama pernah jadi anggota organisasi tersebut?” tanya Habba balik.
Santia menggeleng lalu dia menghela napas. Respons itu membuat Habba semakin bingung. Sebenarnya, apa yang diinginkan organisasi tersebut?
“Terus, kenapa anggotanya mengusik proyek Andala Muda?” tanya Habba to the point. Dia benar-benar ingin tahu.
“Maksudnya mengusik, Sayang?” tanya Santia kaget.
Akhirnya, setelah Habba menghela napas lagi. Dia bercerita perihal kejadian di sekolah dan laboratorium Andala Muda. Respons Santia masih terkrejut, dia merasa tidak percaya akan hal itu. Karena yang dia tahu, organisasi Damar Aksana berhubungan baik dengan PT Sahabat Tekno Indonesia. Pendapat itu disanggah oleh Habba, bahwa Damar Aksana telah diputuskan kontraknya oleh oleh PT tersebut.
“Setelah Mama benar-benar pensiun dari bidang itu. Mama sudah tak mau tahu akan hal tersebut. Mama kira organisasi Damar Aksana tidak akan ikut campur,” kata Santia.
“Maka dari itu, Ma. Mengapa ikut campurnya pada hal yang tidak baik?” sanggah Habba.
“Damar Aksana dulu hanya menaungi bahan-bahan pembuatan alatnya saja. Smartwatch ciptaan Mama masuk kategori teknologi senjata. Mereka ahli dalam pembuatan robot berbasis manusia dengan arti dikendalikan oleh manusia sepenuhnya. Kalau alat sains baru di kamu,” jelas Santia.
Penjelasan Santia membuat Habba mengangguk, dia paham satu hal sekarang. Ada yang janggal di masalah ini.
“Habba paham, Ma. Terima kasih atas ceritanya,” sahut Habba.
“Menurut Mama, masalah ini banyak teka-tekinya. Gunakan ilmu analisismu dengan baik, Habba. Mama percaya kamu bisa memecahkannya. Mama teringat, saat di sekolahmu yang dulu. Analisismu tidak perlu diragukan lagi. Kasus kematian teman sekelasmu bisa kamu selesaikan dan dapat keadilan yang tepat. Jiwamu detektif ada Habba. Untuk itu, Mama minta jangan gegabah, ya?” pinta Santia. Dia tak menyangka sang anak harus dihadapkan dengan masalah seperti ini.
“Habba pegang teguh hal itu, Ma. Ayo! Pulang, Ma. Mama sudah makannya?” tanya Habba.
“Belum, Habba. Mama habiskan dulu. Nggak baik membuang makanan. Indonesia termasuk salah satu negara yang boros makanan, lho,” kata Santia. “Sayang ‘kan? Kamu juga, gih! Dihabiska dulu.”
“Mereka gengsi, Ma. Kebanyakan karena kedudukan. Padahal, itu nggak ada sangkut pautnya,” sahut Habba.
“Nggak semua seperti itu, Habba. Namun, tergantung kepribadian masing-masing,” sambung Santia.
Habba hanya mengangguk lalu menghabiskan makanan dan minumannya, begitu pula Santia.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Ini Milik Kita
General FictionSesampainya di gedung. Mereka langsung saja masuk dan menuju laboratorium Andala Muda. Sebenarnya, tadi mereka heran. Mengapa pintu lab terbuka? Padahal, biasanya ada orang di dalam pun pintu itu tetap tertutup dan mereka yang ingin masuk harus menj...