1+16=17

33 10 72
                                    

Kini Santia sudah berada di rumahnya. Dia pun sedang duduk di kursi tepat depan meja dapur sekarang. Santia membuatkan teh untuk Rasyid sambil menunggunya pulang. Saat tangan kanannya masih sibuk mengaduk air teh itu, tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang. Kursi yang Santia duduki sengaja dirancang tidak ada penyangganya agar memudahkan Santia ketika ingin memasak meski harus dibantu.

“Apa kabar hari ini, Sayang?” tanya Rasyid. Ya, sosok yang memeluk dari belakang itu adalah suaminya.

“Ya Allah, Sayang. Ngagetin saja kamu,” sahut Santia.

Sahutan Santia membuat Rasyid tertawa kecil. “Maaf. Pulang kerja itu obat capeknya memelukmu.”

Mendengarnya Santia hanya tertawa lalu meletakkan sendok yang dia pergunakan untuk mengaduk tadi di samping gelas lantas menoleh ke Roko yang menyenderkan kepala di pundak kanannya.

“Kamu mau minum nggak? Aku buatin teh hangat, lho,” tawar Santia.

“Boleh. Itu?” tunjuk Rasyid.

Santia hanya mengiakan, respons itu dibalas Rasyid tersenyum lantas melepas pelukannya dan beralih bersender di meja dapur. Roko pun langsung meminum teh hangat itu.

“Manisnya pas kayak kamu,” celetuk Roko tersenyum menatap Santia tulus setelah meminum teh itu.

“Gombalannya nggak beda sama Habba, ya?” ledek Santia.

“Dia anaknya siapa lho. Sama, dong, dengan papanya,” sanggah Rasyid. “Oh, ya. Pekerjaan rumah beres belum?” Roko lalu meletakkan gelas itu di atas meja dapur.

“Beres, Sayang. Hari ini nggak banyak. Dibantu Bibi juga, tugas untukmu nggak ada. Terima kasih, ya, sudah paham dan mengerti. Ma---

Cup!

Perkataan Santia terpotong ketika Rasyid mengecup pipi kanannya sekilas lalu tersenyum. “Mau bilang maaf sudah ngerepotin ‘kan? Nggak usah. Itu tugas bersama. Berapa kali aku bilang coba? Sudah, aku mandi dulu, ya.”

“Tunggu, Sayang,” cegah Santia.

Cegahan Santia membuat Rasyid mengurungkan niatnya untuk ke toilet.

“Ada apa?” tanya Rasyid lembut.

“Ada hal yang ingin aku bicarakan nanti.”

“Soal?”

“Habba dan proyek sainsnya. Habba tadi banyak cerita sama aku. Sebentar lagi paling juga cerita sama kamu. Nunggu waktumu dulu dia.”

“Aku paham, Sayang. Habba selalu mencari jalan tepat atas pendapat kita berdua,” sambung Rasyid.

“Nanti di kamar, ya.”

Respons Rasyid hanya mengangguk seraya tersenyum. Biasanya, Roko dan Santia akan saling bercerita sebelum tidur atau di ruang keluarga jika perlu melibatkan Habba.

**

Sementara itu, Profesor Nafsin dan Pak Firman tengah berada di kepolisian. Lebih tepatnya sedang bersama para petugas keamanan yang dipercayakan untuk menaungi proyek teknologi sains Andala Muda. Mereka sepakat, jika barang bukti yang dibawa itu adalah milik organisasi Damar Aksana. Kesimpulan tersebut membuat Profesor Nafsin menghela napas.

“Sebelum petugas keamanan ikut menemui organisasi Damar Aksana di laboratoriumnya. Saya sebagai pengawas proyek ini akan mengutus Cencen dan Nigella dulu ke sana untuk berdiskusi,” kata Profesor Nafsin.

“Habba juga harus ikut. Nanti kita ke sana setelah mereka,” sahut Pak Firman.

“Habba memang murid baru di SMA Jingga Awana. Namun, sebenarnya dia juga detektif muda,” sambung salah satu polisi.

Mendengarnya, Profesor Nafsin kaget. “Apa? Benar, kah itu, Pak?”

“Iya. Dia pernah menuntaskan kasus kematian temannya di sekolah yang lama bersama Polisi Abraham Abimayu,” jawab polisi itu. “Habba harus tahu detailnya masalah ini. Analisis Habba sangat dibutuhkan.”

Penjelasan polisi tersebut membuat Profesor Nafsin manggut-manggut mengerti. Pantas saja Habba pandai di bidang teknologi terutama mengutak-atik kode. Ternyata dia juga detektif muda. Meski di keluarganya hanya Santia yang ahli di bidang teknologi, tetapi hanya Habba yang ilmu analisisnya tidak diragukan lagi. Memang sebagian keahlian seseorang mereka dapat dari sisilah keturunan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa keahlian seseorang, hanya diri sendiri yang tahu dan sangat penting untuk digali dan dikembangkan. Maka dari itu, bisa disimpulkan juga, bahwa keahlian bisa diketahui kalau kita mau belajar mengasah diri. Menemukan hal apa yang ada di diri kita, buat pantas selalu diperjuangkan meski sekecil apa pun itu.

“Oke. Saya rasa pertemuan ini sudah cukup. Langkah selanjutnya, kita tunggu mereka setelah dari laboratoriumnya Damar Aksana,” ucap Pak Firman tegas.

Para pengikut pertemuan itu mengangguk paham tak terkecuali Profesor Nafsin juga. Sudah dibubarkan pertemuan di ruangan, Pak Firman dan Profesor Nafsin berpamitan pulang.

*****

Cinta Ini Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang