1+10=11

56 11 51
                                    

Cencen sudah menghadap Pak Jaka saat ini. Peluru itu tergeletak di atas meja kaca yang tepat berada di tengahnya, sedangkan Pak Jaka, beliau masih duduk di depan Cencen seraya mengamati peluru tersebut. Puas mengamati, dia mengambilnya dengan tangan terbalut kaus lalu lebih lagi mengamati dengan teliti.

“Sudah kuduga, peluru ini milik Damar Aksana,” ucap Jaka.

“Mengapa harus Nigella, Pa?” tanya Cencen.

“Nigella tingkat kejeniusannya di bawah Profesor Nafsin. Data penting proyek ini setengahnya juga berada di tangan Nigella,” jawab Jaka. “Profesor sudah saatnya tahu keseluruhan masalah ini. Papa langsung ke sana nanti setelah selesai denganmu, Cen.”

“Iya. Profesor harus tahu, dari Pak Firman tentunya,” saran Cencen.

“Kita selidiki dulu masalah ini. Setelah itu, kamu dan Nigella harus ke laboratorium Damar Aksana. Kita mencoba diskusi. Nggak baik, ada pengancaman seperti ini apalagi sampai pembunuhan nanti,” kata Jaka lalu meletakkan peluru itu kembali. “Papa, nanti akan ke polisi juga yang membantu keamanan proyek ini.”

“Baik, Papa. Cencen percaya sama Papa,” ujar Cencen lalu berdiri dari tempat duduknya.

“Tunggu, Cen!” cegah  Jaka. Alhasil, Cencen  mengurungkan niatnya untuk melangkahkan kedua kakinya.

“Ada apa, Pa?” tanya Cencen menoleh tanpa duduk kembali.

“Selagi Nigella terancam. Kamu nggak ambil kesempatan?” tanya Jaka.

“Kesempatan apa, Pa?” tanya Cencen balik.

“Merebut kepercayannya Profesor Nafsin ke Nigella sebagai pemimpin proyek ini,” saran Jaka.

Mendengarnya, Cencen tertawa sinis. Dia memandang sang papa lalu tawa itu berubah menjadi senyum mengejek.

“Cencen tidak selicik itu, Papa,” sanggah Cencen.

“Papa tidak mengajari kamu untuk licik, Cen. Namun, hanya mengambil kesempatan,” ujar Jaka.

“Sama saja, Papa. Cencen tetap profesional. Sudah, ya? Cencen pergi dulu,” pamit Cencen lalu dia benar-benar keluar ruangan kepala sekolah.

**

Di sisi lain, Habba dan Logari menemani Nigella yang masih pingsan di atas brankar. Dia sudah selesai diperiksa oleh Dokter Nadin. Pingsan itu akibat dia kaget saja dengan peristiwa tadi. Habba dan Logari duduk di sofa UKS saat ini.

“Nigella syok banget pasti tadi. Untung ada kamu, Habba,” ucap Logari khawatir.

“Untungnya, ya? Aku tahu. Pasti ini ulah organisasi Damar Aksana,” jawab Habba.

“Iya. Kalau Cencen langsung ke papanya. Pasti ada hubungannya dengan hal itu,” sahut Logari. “Ngomong-ngomong keren juga. Smartwatch-mu bisa berubah jadi pedang yang terbuat dari sinar.”

“Mamaku yang buat. Untuk jaga-jaga saja, sih. Selain jadi pedang. Smartwatch ini juga bisa berubah menjadi sinar pelindung,” jelas Habba.

“Wow! Mamamu hebat, Habba. Namun, pedang tadi tajam nggak?” tanya Logari.

“Tajam?” tanya Habba balik.

“Iya. Seperti sinar leser. Bisa buat memotong, menusuk dan kalau terkena dapat menimbulkan luka,” ujar Logari.

“Oh, bisa. Tergantung bendanya, sih. Apa dulu yang kena dan pergerakan penggunanya. Seperti peluru tadi. Pedang ini cuma menahan pergerakannya saja. Alhasil, dia jatuh di depanku dan tidak hancur,” cerita Habba.

Cinta Ini Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang