1+14=15

53 14 132
                                    

Ucapan Santia membuat Habba tersenyum lalu dia meraih kedua tangan sang mama untuk digenggam.

“Nggak pa-pa, Ma. Meski Mama harus butuh bantuan untuk merawat Habba. Namun, Habba sangat bahagia menjadi anak Mama dan Papa. Habba juga nggak malu mempunyai Mama. Mama itu istimewa. Terima kasih sudah melahirkan Habba ke dunia ini,” kata Habba lalu mencium punggung tangan Santia.

“Ya ampun, Habba. Kenapa kamu sweet banget sama Mama?” tanya Santia terharu.

Pertanyaan sang mama membuat Habba tertawa kecil. “Sweet-nya Habba cuma ke Mama, kok. Ke perempuan lain belum.”

“Masa? Anak Mama nggak playboy, nih?” ledek Santia lalu melepas genggaman sang anak.

“Nggak, Mama. Serius, deh,” sanggah Habba. “Habba memilih menempatkan diri saja terutama ke lawan jenis. Sewajarnya. Seperti apa yang dikatakan Mama. Sekeras apa pun perempuan, dia punya sisi lembut yang harus dijaga.”

“Iya, Sayang. Hargai mereka, ya? Meski semandiri apa pun perempuan, dia memang makhluk yang diciptakan Tuhan secara lembut dan lunak. Jadi kamu sebagai cowok harus hati-hati memperlakukan mereka. Terkena hal keras sedikit saja kelembutan itu akan tergores secara fatal,” nasihat Santia.

“Iya, Ma. Habba pegang teguh nasihat itu. Habba banyak belajar dari kehidupan Mama dan Papa Roko. Papa adalah sosok yang luar biasa bisa membangkitlkan kepercayaan Mama lagi. Papa sanggup mencintai dan memiliki Mama secara tulus. Saling belajar untuk melengkapi bukan menerima apa adanya. Dulu aku sempat berpikir, lho, Ma. Papa menikahi Mama karena kasihan. Eh, ternyata bukan. Papa menggunakan secara seimbang antara perasaan dan logikanya untuk bersama Mama,” ujar Habba.

“Mama sempat nggak percaya dengan papamu, lho, Habba. Secara papamu normal, ganteng, berpendidikan, pintar berbisnis. Blogger lagi. Mama insecure dengan itu,” kata Santia.

“Mama itu jenius, lho. Kakek dan Nenek saja cerita sama Habba. Smartwatch ini  buatan Mama. Namun, nggak jadi diproduksi masal. Itu ‘kan alasan Mama tidak mau melanjutkan pendidikan?” tanya Habba. “Mama punya hutang cerita soal ini sama Habba.”

Tagihan Habba membuat Santia tersenyum. “Smartwatch yang kamu pakai, ya? Merek nama Mama SNT. Nanti, Mama cerita. Sekarang temani Mama terapi dulu, ya?” pinta Santia.

“Oke. Nanti beneran, lho, ya?” tanya Habba memastikan.

“Iya, Habba. Gih! Ganti baju, makan terus berangkat. Mama mau ke toilet dulu,” kata Santia.

Habba hanya mengiakan dan beranjak ke kamar, sedangkan Santia berjalan menggunakan kedua tongkatnya ke toilet. Rumah Roko dan Santia sengaja di dirancang ramah disabilitas tidak ada tangga tinggi di sana. Hal ini mempermudah Santia untuk beraktivitas. Meski pindah-pindah rumah karena perjalanan tugas bisnis, Roko tetap mengutamakan kenyamanan Santia hingga pada akhirnya, setelah Roko mantap merintis bengkel dan telah berkembang. Roko sekeluarga menetap di sini, selain dekat dengan kediaman adiknya Oci. Daerah itu juga strategis buat berbisnis sendiri.

Kakek Erwin dan Nenek Ziza orang tua dari Santia tidak kejauhan jika ingin berkunjung atau Roko sekeluarga yang mengunjungi begitu pula Kakek Arnari dan Nenek Ima orang tua dari Roko.

Sudah siap dengan semuanya, Santia dibonceng Habba. Hari ini Santia ingin naik motor saja dengan sang anak. Tadi, beliau dibantu Bibi Sika untuk menaiki motor Habba. Sebenarnya, mobil Roko berada di rumah. Namun, dia sengaja mengendarai motor ke bangkel.

“Sudah nyaman, Ma?” tanya Habba.

“Sudah, Habba. Ayo! Kita berangkat,” ucap Santia.

“Oke,” kata Habba tersenyum lalu menghidupkan motornya. “Bibi, makasih bantuannya. Habba berangkat dulu, ya?” pamit Habba.

“Iya, Nak Habba. Hati-hati sama Mbak Santia, ya?” sahut Bibi Sika tersenyum.

“Iya, Bibi. Saya berangkat dulu, ya. Nitip rumahnya,” pamit Santia tertawa kecil.

“Siap kalau itu, mah!” sahut Bibi Sika tertawa. Bibi Sika adalah pembantu rumah tangga yang sudah dianggap keluarga sendiri. Beliau juga membantu merawat Habba waktu bayi. Bibi Sika seumuran mamanya Santia.

Akhirnya, mereka keluar dari halaman rumah dan berkendara menuju rumah sakit. Habba dan Santia tidak saling diam. Namun, mereka asyik berbincang.

“Hari ini dokternya siapa, ya, Ma?” tanya Habba.

“Nggak tahu, Habba. Beda-beda, sih, dokternya,” sahut Santia.

“Kita nanti dikira pasangan lagi, Ma?” kekeh Habba. Pasalnya, muka Santia yang baby face dan tubuh yang mungil membuat dirinya terlihat seumuran dengan Habba. Habba punya tubuh yang tinggi, meski mukanya juga baby face. Maka dari itu mama dan anak ini sering kali dikira pasangan.

Mendengarnya Santia tertawa. “Maaf, Habba. Muka mama nggak ada berubahnya.”

“Mama awet muda, sih,” sanggah Habba.

“Nanti juga tua Habba. Belum waktunya saja,” sahut Santia tertawa kecil.

“Keluarga kecil kita, keluarga baby face, ya, Ma. Papa Roko pun juga. Masa, pernah nganterin Habba ke sekolah dikira kakak Habba,” kekeh Habba teringat peristiwa itu.

“Hahaha. Disyukuri saja, ya, Habba. Bonus dari Tuhan,” sambung Santia.

Tak terasa banyak saling mengobrol, mereka pun sampai juga di rumah sakit. Baru saja sampai di parkiran, Habba dan Santia sudah disambut oleh dua suster yang membawakannya tongkat dan membantu Santia turun dari motornya Habba. Setelah itu, mereka berjalan beriringan memasuki gedung rumah sakit. Beres mendaftarkan diri, Habba dan Santia duduk di ruang tunggu. Dua suster tadi pun sudah perpamit pergi untuk tugas yang lain.

Panggilan nama Santia pun terdengar. Mereka segera beranjak ke ruang terapi yang sudah dibuka pintunya oleh suster terlebih dahulu. Lantas, keluarlah pasien yang ada di dalamnya. Hbba dan Santia pun duduk berhadapan dengan seorang dokter muda. Beliau tersenyum menyambutnya.

“Perkenalkan nama saya Arga Samudra. Benar ‘kan ini Bu Santia yang diterapi Dokter Siti seminggu yang lalu?” tanya Dokter Arga ramah.

“Benar. Saya Santia, Bu. Penyandang disabilitas cerebral palsy spastik,” jawab Santia.

“Oke. Prosedur terapi sudah saya pahami. Jadi kita lanjut saja, ya?” tawar Dokter Arga.

"Baik, Dok," ucap Santia.

*****

Cinta Ini Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang