1+23=24

5 1 0
                                    

Akhirnya, jam istirahat pertama pun tiba. Kini, Habba dan Nigella sedang berada di kantin. Mereka makan cilok sambil mencatat materi PPKN tadi. Sumpah! Menjelaskan materi di depan kelas itu memang menyenangkan dan bisa melatih public speaking kita. Namun, nilai minus-nya. Mencatat menjadi hal yang menyusul.

“Nigella, kamu sudah tahu belum. Kenapa petugas keamanan bisa terkecoh waktu itu?” tanya Habba masih dengan menulis.

“Sudah. Dari Cencen. Untung, aku nggak jadi marah-marah. Makasih, ya, Habba. Kamu waktu itu nenangin aku. Pintu utama gedung plus sandinya sudah baru, diperketat pula. Gedungnya dan wilayah terdekat, sekarang diberi sinar pelindung. Jadi orang yang tidak terdata di sana, nggak akan bisa masuk,” jelas Nigella.

Mendengar hal itu, Habba jadi tersenyum kecil. “Sama-sama, Nigella. Syukur, deh. Jadi nggak sembarang orang bisa masuk.”

Namun, belum sempat Nigella menjawab kembali, Logari dan Cencen datang dan langsung duduk di depan mereka. Cencen pun membawa tablet di tangannya.

“Habba, aku sudah ambil desainku kemarin,” ucap Cencen lalu mengutak-atik tablet-nya. “Ini, lihat Habba!” pinta Cencen memberikannya kepada Habba.

Memandang hal itu, Habba tersenyum. Dia menghentikan aktivitasnya mencatat di buku. Lantas, Habba menerima tablet tersebut. Akhirnya, Habba melihat desain itu dengan teliti.

“Cencen!” seru Habba.

Sontak seruan itu membut teman-teman yang ada di sekitaran Habba menutup telinganya dengan kedua tangan.

“Kenapa, Habba?” tanya Cencen heran, masih dengan posisi yang sama.

“Ini keren sekali desain pintu laboratoriumnya,” puji Habba.

Pujian tersebut membuat Logari dan Nigella menurunkan kedua tangannya, kemudian berdiri menengok  layar tablet itu. Benar pujian Habba, desainnya memang sederhana. Namun, kata takjub patut disematkan untuk mahakarya satu ini. Dengan burung elang jawa yang dipadukan sama gunungan wayang secara berdampingan menjadikan keduanya terlihat gagah dan berwibawa. Pintu ini melokal sekali, tetapi benar-benar bergaya modern.

“Kenapa gunungan wayang, Cen?” tanya Logari.

Cencen pun tersenyum mendengarnya. “Tanya Habba, dong. Aku dapat ide dari pedangnya.”

Ucapan Cencen membuat tersenyum juga. Dia lalu meletakkan tablet itu di atas meja. Tangan kanannya pun kini menusuk cilok dan memakannya dengan nikmat.

“Hih! Habba, ditanyain pula. Malah makan,” gerutu Nigella sebal.

Gerutuan Nigella direspons tertawa kecil oleh Habba usai dia menelannya. Selesai dengan keusilannya, Habba memandang teman-temannya dengan lembut.

*****

Cinta Ini Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang