Langkahnya dipercepat. Ingin berlari tapi kedua kakinya tak mampu menuruti. Akhirnya dia pun terjatuh--di bawah sebuah jembatan dekat dengan sungai kotor penuh sampah. Napasnya terengah-engah, tangannya meremat kain tipis di dadanya. Besi berkarat dicengkeramnya kuat meski bagian tajamnya melukai telapak kirinya.
"Sialan! Sialan! Sialan!" umpatnya, seraya menyerang kepalanya sendiri dengan pukulan tangan. Tidak puas dan merasa belum tersakiti, dia arahkan kepalanya pada dinding beton jembatan.
Suara aneh itu terus melolong seolah mendorong Jojo untuk semakin merasakan rasa sakit. Setiap katanya terngiang, terus terbayang, tak mau berhenti berputar. Seperti sebuah lagu favorit yang diulang berkali-kali. Tapi ini bukan suara yang merdu, melodinya sangat menyakitkan, menyayat-nyayat tubuh Jojo secara tak kasat mata.
"Kak ... Sakit, to-tolong."
"Gak! Pergi lo, pergi!!!" teriaknya keras. Mengerang seperti serigala kelaparan. Batu-batuan dibuangnya asal ke sungai. "Lo bukan dia! Bukan dia!! PERGI!!!"
Tubuh Jojo meluruh jatuh ke tanah. Bersandar pada dinding beton yang dialiri darah dari kepalanya. Dia biarkan air mata itu terjun bebas dari borgol yang telah membelenggu.
"Maafin Kakak, Bi ...," lirih Jojo, serak hampir tak terdengar.
Jojo gagal menyelesaikan rencananya. Dia tak sampai hati untuk melukai anak itu--sesuai permintaan Aruma. Mendengar rintihan kesakitannya saja sudah membuat Jojo gemetar ketakutan.
Tiba-tiba setelah berbulan-bulan Jojo kembali di datangi saudara kembarnya yang sudah tiada. Bukan dalam wujud sebenarnya, tapi dia datang dalam bentuk suara. Jojo bisa mendengar suara saudara kembarnya lagi.
"Kak, aku bisa sembuh ga, ya?"
"Bisa lah, 'kan, ada Papa. Kamu juga udah kemoterapi. Setelah selesai nanti kamu gak akan sakit lagi."
"Tapi kalo tetep gak bisa sembuh gimana, Kak?" Mendadak Nabian terpikirkan oleh sesuatu. "Kamu, 'kan, kembaranku ... nanti apapun yang terjadi ke Kakak masih bisa sampai ke aku gak, ya?"
"Maksudnya?"
"Aku masih bisa rasain perasaan yang sama kaya Kakak juga apa engga. Kalau suatu saat Kakak sedih karena aku mati, nanti aku lebih sedih."
Jojo menutup telinganya. Kedua tangannya menekan kuat agar suara-suara itu tak masuk ke dalam indra pendengarannya.
"Kalau Kakak terkenal nanti Kakak gak mau pakai nama Nobian. Jelek soalnya, nanti diplesetin jadi Nobita lagi. Kasih nama yang bagus dong, Dek."
"Jojo."
"Dih? Jelek banget! Masa nanti orang-orang teriak, 'Jojo! Jojo! Jojo! Jojo!' gitu??"
"Bagus! Artinya Kakak itu anak baik dan penurut."
"Sok tau!"
"Kalau udah sembuh nanti aku bakal jadi orang yang paling keras teriakin nama Jojo di konser pertama Kakak!"
Kedua tangannya terjun bebas ke bawah. Jojo akhirnya melepas emosinya yang mendesak di dada. Dia berteriak kencang lalu menangis sejadi-jadinya. Baru saja menyadari bahwa semua yang dia lakukan pastinya membuat Sang Adik kecewa. Mungkinkah sampai saat ini Adiknya masih berada di sini? Jojo yakin karena perasaannya mungkin saja Nabian belum bisa tenang.
Jojo menghancurkan segalanya. Niatnya untuk menjadi pemusik sudah hilang entah kemana. Tujuannya dulu adalah untuk memamerkan bakatnya pada Sag Adik yang dulu tak bisa apa-apa—selalu terbelenggu dalam rasa sakit sejak kecil. Terkadang Jojo heran mengapa dia tak ikut merasakan rasa sakitnya padahal mereka adalah saudara kembar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded Harmony
Ficción GeneralKeluarga harmonis, selalu berada di dalam kehangatan, meski hujan badai menerjang dari luar. Ketika seseorang mendapatkannya terkadang mereka tidak sekalipun berpikir bahwa itu bisa saja menghilang. Lantas, bagaimana jika suatu hari mereka dihadapka...