Dimana kita dilahirkan, bagaimana nasib kita selama hidup di dunia, dan kapan waktu kita berakhir adalah ketentuan Yang Maha Kuasa. Tidak ada manusia yang mengetahuinya, tidak ada pula yang bisa mengaturnya di bawah kendalinya.
Tiga hari setelah Sang Adik berhasil melewati masa kritisnya Nalendra mulai menyadari tentang kesalahannya yang memaksa Adiknya bertahan. Tapi terkadang dia merasa tidak ada salahnya—agar Sang Adik tidak mudah menyerah. Namun, disisi lain, Nalendra tidak tega melihat bagaimana Sang Adik menahan rasa sakitnya setiap menit dan detik.
Penyebabnya berpikir demikian adalah, di hari itu saat dirinya tidak sengaja mendengar percakapan kedua orang tuanya dan Dokter Gustian. Hatinya semakin ragu.
"Ini hanya masih pra-duga saya. Tapi jika Alandra mengalami gejala-gejala yang saya sebutkan tadi, tolong segera konsultasikan kepada saya. Saat cairan yang menumpuk di paru semakin banyak bisa juga menyebabkan komplikasi-komplikasi lain yang lebih parah."
"Ini masih terlalu awal untuk mengalami komplikasi. Tapi itu bisa saja terjadi pada siapapun atas kehendak Yang Maha Kuasa. Jadi, banyak-banyak berdoa untuk kesembuhan putra kalian."
Nalendra menelungkupkan kepalanya di atas lipatan tangan. Isi kepalanya berkecamuk sehingga penjelasan dari guru tidak ada yang berhasil masuk. Nalendra menutup kedua matanya, mencoba menenangkan pikirannya sejenak, menulikan pendengaran dari ricuhnya dunia.
"Nalendra!!"
Nalendra terlonjak kaget. Guru tadi baru saja menggebrak mejanya menggunakan penggaris besar. Serta meneriakkan namanya sampai melengking di telinga. Darahnya mengalir deras menuju kepala membuat Nalendra dilanda pusing berat.
"Kamu dipanggil-panggil gak nyaut ternyata tidur?! Kamu itu siswa berprestasi, jangan buat malu diri kamu sendiri!"
"Maaf, Bu."
"Fokus! Kalau kamu ketahuan tidur di pelajaran saya lagi. Saya laporkan kamu, biar orang tua kamu dipanggil, ngerti?!"
Meskipun perhatiannya sudah tertuju pada papan tulis. Tapi isi kepala Nalendra bukanlah tentang pelajaran yang sedang dijelaskan. Akhir-akhir ini tingkat pemahamannya berkurang, Nalendra bukan lagi anak rajin dan pintar seperti sebelumnya.
Kehidupan sekolahnya berantakan. Absensi-nya banyak yang kosong tanpa izin yang jelas. Bahkan Nalendra memilih bertukar tempat duduk di pojok belakang—demi bisa menenangkan pikirannya yang tak pernah tenang barang sesaat.
Sepulang sekolah Nalendra tak langsung menuju rumah sakit seperti hari–hari sebelumnya. Menjalani kebiasaannya untuk melanjutkan dengan bekerja di sebuah cafetaria, menjadi seorang waiters yang harus menerima semua komplain pelanggan. Bahkan tidak sekali dua kali Nalendra diancam potong gaji karena tuduhan dan kesalahan yang tidak diperbuat olehnya. Nalendra tidak tahu jika menjadi waiters akan sangat gila seperti ini.
Minggu pertama di bulan November berjalan bagai laju topan. Matahari yang baru naik seolah ditarik paksa turun kembali, malam pun seperti sekali kedipan mata saja.
Hal yang paling sering merecoki kepala Nalendra adalah mengenai biaya pengobatan. Jika penyakit Alandra bertambah maka biaya pun semakin membengkak. Bukan berarti Nalendra menyalahkan Adiknya. Dia hanya menyayangkan mengapa takdir tak mau berbaik hati pada keluarganya barang sedikit untuk saat ini.
Hari ini Nalendra mendengar perdebatan kecil antara Sang Ayah dan resepsionis di rumah sakit. Tidak jauh dari penunggakkan pembayaran dan ancaman mencabut pengobatan untuk Alandra. Tapi Surya menolak keras dan selalu berjanji untuk membayar separuhnya di Minggu selanjutnya.
"Tapi apa saya gak bisa mendapat sedikit keringanan? Tolong, obati anak saya dulu lalu akan saya bayar sisanya di Minggu selanjutnya."
"Maaf, Bapak, tapi ini sudah ketentuan dari rumah sakit. Jika Bapak tidak mampu, Bapak bisa mencari opsi lainnya. Terimakasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded Harmony
قصص عامةKeluarga harmonis, selalu berada di dalam kehangatan, meski hujan badai menerjang dari luar. Ketika seseorang mendapatkannya terkadang mereka tidak sekalipun berpikir bahwa itu bisa saja menghilang. Lantas, bagaimana jika suatu hari mereka dihadapka...