"Nanti sore jadi ke panti, nih?" Tanya Atlas Tanubrata, yang akrab di panggil Atlas itu datang dan duduk bergabung di kursi rumah Si kembar dan juga Ryano yang sedang bermain vidio game. Tidak ada jawaban, ketiganya fokus dengan vidio game di hadapan mereka.
Atlas mendengus jengah. "Trio GINO, Game is number one."
"Shhhht!" Balas Ryano dan Si kembar kompak.
Akhirnya Atlas pun bungkam kemudian duduk di salah satu kursi di sana, menunggu ketiganya selesai bermain.
---
"Gimana persiapan makanan buat anak-anak?" Tanya Ryano pada Nio, ketika ketiganya sudah selesai bermain.
"Udah, paling ntar kita langsung ambil ke warung makan terus langsung ke panti," ujar Nio.
Ryano mengangguk paham, ia lalu menoleh ke arah Tio. "Buku-buku cerita udah siap?" Tio menggangguk sembari menunjukkan daftar nama-nama buku yang sudah ia persiapkan sejak minggu lalu.
Ryano tersenyum tipis, disela-sela napasnya yang terasa kian berat. "Bagus deh, semoga berjalan lancar seperti bulan lalu."
"Lo sakit, Yan?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Atlas. Wajah Ryano terlihat pucat sedari tadi, lelaki itu pun terlihat kesusahan hanya sekedar menarik napas.
Gerakan tangan Ryano yang sedari tadi mengecek list judul-judul buku di ponsel Tio seketika terhenti begitu saja. Pandangan lelaki itu naik menatap Atlas. "Sakit?" Lelaki itu tergagap di awal ucapannya.
Atlas, Nio, dan Tio, sama-sama melirik ke arah Ryano. Dan ketiganya mengerutkan dahi begitu saja. Ryano terlihat seperti orang yang ketahuan melakukan suatu... kesalahan?
"Nggak kayak biasanya, muka lo pucet gitu." ujar Tio.
Ryano terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas lega. "Gue cuma kecapean doang, nggak usah di pikirin."
"Yakin?" Tanya Atlas, tangan lelaki itu naik memegang pundak Ryano.
Ryano merotasikan bola matanya. Ia tidak suka di tanya mengenai hal ini. "Gue nggak apa-apa."
"Lo boleh nggak ikut ke panti, kalo lo emang lagi sakit. Nanti gue yang handle sama anak-anak lain," usul Atlas.
Ryano menggeleng cepat, walau dia menyadari kalau suhu tubuhnya kini semakin tinggi. "Gue nggak sakit."
Atlas, Nio, dan Tio hanya terdiam mendengar ucapan Ryano. Ketiganya mengetahui bahwa lelaki di hadapan mereka itu sedang tidak baik-baik saja, terlihat dari keringat yang memenuhi leher dan wajah lelaki itu.
Namun, Ryano tetaplah Ryano. Sejak mengenalnya, tidak pernah sekalipun lelaki itu mengeluh.
"Bener, Yan? Kalo sakit ngomong, jangan di paksain," ujar Nio, lelaki itu terlihat khawatir dengan perubahan berat badan Ryano akhir-akhir ini. Ryano sangat mudah terkena demam.
"Lo nyadar nggak, sih? Tiap hari makan banyak, tapi lo makin kurus," lanjut Nio.
'Tiap hari gue muntahin semua, yang gue telen nggak bisa bertahan lama'
Ryano menghela napas pelan, pandangan matanya menatap bergantian sahabat-sahabatnya. "Lo semua tau? Gue terlalu kuat buat sakit."
▪︎▪︎▪︎
Ryano
Yan? Kamu sakit?
Jangan di baca doang, bales ya, Yan?
Mau aku jengukin? Kamu suka apa, ntar aku bawain?
Suka aku? Ntar aku bawain hehe.
Sekarang pesanku bales dulu, perasaannya besok-besok aja.
GWS, Ryan🦭🦭
-
Aluna menatap nanar room chat di layar ponselnya, tak ada satu pun balasan dari Ryano, padahal sudah di baca."Susah banget, Yan, dapetin lo."
"Awas aja Ryano Aldevaro, besok-besok kalau gue makin cantik, lo bakal klepek-klepek tuh, liat aja."
▪︎▪︎▪︎
Tepat pukul setengah empat sore. Anak-anak angkatan 55 SMA Bakti yang berjumlah tidak lebih dari 15 orang, sudah berada di depan panti asuhan Kasih Sayang.
Program itu sudah diketuai oleh Ryano semenjak lelaki itu masuk ke SMA Bakti.
Awalnya program ini akan di tutup oleh pihak sekolah karena kurangnya minat siswa untuk menjalankan program tersebut, hanya saja program yang di handle oleh Ryano membuat program kerja tersebut kembali berjalan sebagaimana mestinya.
"Gimana? Lengkap semua?" Tanya Atlas untuk terakhir kalinya sebelun mereka masuk ke dalam Panti Asuhan Kasih Sayang. Semua kompak menggangguk dan melangkahkan kaki mereka ke pekarangan panti asuhan.
Para anak-anak panti berhamburan keluar begitu kedatangan Tim sukarelawan SMA Bakti.
Kegiatan kini berjalan sesuai rencana. Aluna mengikuti Lyla membagikan buku cerita ke anak-anak di taman belakang panti. Sementara Atlas, Si kembar, dan anak-anak lainnya di dalam panti asuhan sedang bermain-main bersama.
"Kak Ian mana, kak?" Tanya tiba-tiba seorang gadis kecil sambil menarik ujung baju Aluna.
"Kenapa, sayang?" Tanya Aluna karena ucapan anak itu tidak terdengar terlalu jelas, Aluna kemudian duduk menyetarakan tingginya dengan tinggi gadis kecil itu.
"Kak Ian nggak dateng, ya?" Aluna menaikkan sebelah alisnya bingung. Ia segera melirik ke arah Lyla yang masih fokus membagikan buku cerita kepada anak-anak panti.
"Kak Ian?" Tanya Aluna kepada Lyla yang tengah sibuk membagikan buku-buku cerita. Lyla menoleh sekilas ke arah Aluna dan gadis kecil itu sebelum akhirnya terkekeh.
"Dia pacar Ryan, Lun."
"What?"
"Iya, Nina pacar Ryan, udah dua bulan yang lalu. Udah sumpah sehidup semati pula." Jelas Lyla.
Aluna menoleh kembali ke gadis kecil itu yang ternyata bernama Nina.
"Kak Ian itu kak Ryan?" Tanya Aluna pada Nina, gadis kecil itu menggangguk pelan.
"Kak Ian kenapa nggak dateng, Ina udah kangen," terlihat raut sedih tercetak di wajah gadis yang berumur sekitar delapan tahun itu.
Aluna tersenyum tipis, tangannya naik mengusap puncak kepala Nina. "Kak Ian lagi sakit."
"Sakit apa?"
Aluna terdiam sejenak." Hmmm, Kak Ian lagi demam biasa aja kok, besok-besok pasti sembuh."
Nina menggelengkan kepalanya cepat. "Kak Ian nggak boleh sakit."
"Nanti kak Ian bakal kayak Ina, Ina nggak mau."
"Ina kenapa? Ina sakit?" Tanya Aluna pelan-pelan, ia takut salah bicara dan malah membuatnya sedih.
Nina diam. Gadis kecil itu melingkarkan tangannya di leher Aluna, minta di gendong.
Aluna mengangkat tubuh Nina lalu berdiri dengan perlahan, kemudian menoleh ke arah Lyla.
"Sakit apa?" Aluna bertanya tanpa mengeluarkan suara dan hanya menggerakkan mulut. Lyla membaca gerak mulut Aluna.
Raut sedih tercetak di wajah Lyla. Lyla perlahan mengusap kepala Nina yang kini bersandar di bahu Aluna.
"Gagal ginjal, Lun."
To be continue....
KAMU SEDANG MEMBACA
FAKE SMILE
Teen Fiction"Di peluk oleh luka, dikuatkan oleh rasa dan tawa untuk berpura-pura." ••• Jika banyak remaja ingin menjadi kaya, tapi tidak dengan Ryano Aldevaro. Cita-citanya hanya satu, "Mau disayang dan di peluk papa, Ryan pengen bunda sama papa nggak bertengka...