Chapter 13

33 11 0
                                    

Jalan malam itu terasa senggang, titik-titik hujan meninggalkan jejak di kaca helm Ryano. Laki-laki itu sedang mencari tempat yang bisa memberinya ketenangan.

Motor Ryano berhenti di sebuah jembatan besar yang terletak di dekat pelabuhan. Di sana tidak terlalu ramai, beberapa kapal terlihat berlalu lalang.

Ryano turun dari atas motornya, berdiri di sudut jembatan. Lelaki itu menatap langit seolah mengajaknya bicara.

"Tuhan... saya tidak mau menyusahkan Bunda lagi." Lirihnya.

Mata Ryano menutup kemudian terbuka lagi, matanya berkaca-kaca. Mengingat bagaimana sedari dulu Nisa berjuang untuknya dan bagaimana ayahnya bersikap terhadap mereka berdua, menyalahkan semua yang terjadi adalah kesalahan Ryano, kata-kata yang pernah terlontar dari mulut ayahnya tiba-tiba terlintas di benaknya.

'Dasar anak nggak berguna! Bisanya nyusain aja!'

"Mau jadi dokter?" Ryano tertawa miris. "Lo aja penyakitan kayak gini, masih mau jadi dokter?"

-

"Bunda! Ryan mau jadi dokter!"

"Wihhh, anak Bunda keren banget mau jadi dokter!"

"Iya, Nda! Nanti yang nggak bisa biayain rumah sakit biar dateng ke Ryan, gratis! Terus, nanti Ryan bakal jadi dokter buat Bunda. Kalo seumpama ayah pukul Bunda lagi, nanti nggak perlu ke dokter, ke dokter Ryan aja!"

-

Ryano tertawa miris, tawanya semakin keras mengingat bagaimana semangatnya ia dulu ingin menjadi dokter. Berulang kali tangan lelaki itu mengusap air matanya yang membasahi wajahnya.

"Lo bisanya nyusain, Ryan! Harusnya lo yang jagain Bunda, bukan malah lo yang di jagain Bunda."

Dadanya terasa sesak, nyeri. Lelaki itu mendongah menatap langit dan membiarkan air mata turun membasahi wajahnya.

"Saya tidak bisa berani cerita ke orang lain Tuhan... saya hanya berani ngeluh ke kamu. Saya takut mereka kepikiran, malah nambah beban mereka."

"Badan saya sakit, Tuhan..." lirihnya terdengar parau. "Saya nggak tau berapa lama lagi." Isakannya terdengar menyakitkan.

"Apa saya masih bisa menjadi seorang dokter? Apa saya masih punya waktu buat lulus? Saya pengen Bunda lihat saya jadi dokter, Tuhan..."

"Apa saya masih bisa lihat Bunda sama papa baikan lagi?"

"Adik saya, Nina, apa ketika dia dewasa, masih ada saya disampingnya?"

"Saya ingin bagagia, Tuhan... bukannya tidak bersyukur, tapi... di saat seperti ini, saya nggak bisa menahan air mata saya."

"Saya ingin bahagia sama Bunda, Nina, Ayah, sahabat-sahabat saya..." wajah Aluna tiba-tiba saja melintas di dalam benaknya.

"Sama Luna..." panggilnya sambil nenatap kosong hamparan lautan di depannya. "Aluna Anastasia."

"Iya, Ryano Aldevaro."

Ryano terlonjak kaget ketika mendengar namanya di panggil dengan seseorang. Lelaki itu dengan segera membalikkan tubuhnya. Seorang Aluna Anastasia sedang berdiri di belakangnya dengan senyum manisnya.

Senyumnya memudar ketika melihat wajah Ryano sebab. "Kamu kenapa, Yan?" Tanyanya.

Ryano tidak menjawab, lelaki itu masih terkejut dengan Aluna yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Kenapa nangis, Yan?"

Ryano langsung sadar dengan wajahnya yang masih berlinang air mata. Ryano tiba-tiba menarik Aluna masuk ke dalam pelukannya, tidak ingin wajahnya di lihat oleh Aluna.

"Yan, sesek, nggak bisa napas," ujarnya karena Ryano memeluknya begitu erat.

"Gue lagi nangis, diem!" Pinta Ryano yang langsung membuat Aluna kicep.

Ia hanya butuh kehangatan saat ini. Sesaat hal bodoh mungkin saja ia lakukan jika saja Aluna tidak datang. Ia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Aluna.

Lengkara diam sejenak sebelum tangannya perlahan naik dan membalas pelukan Ryano.

"Ryan, kapan pun kamu perlu, aku ada buat kamu kok."

Ryano bergetar hebat membuat Aluna menepuk-nepuk pelan punggung lelaki itu.

"Makin di tahan, semakin sakit, Yan. Nangis aja."

Tangisan Ryano seketika pecah, lelaki itu memeluk tubuh Aluna semakin erat.

"Lun?" Panggil Ryano di sela isak tangisnya.

"Iya?"

Ryano melepas pelukannya.

"Senyum, Lun. Biar gue bisa bahagia."

Aluna terdiam sejenak, matanya perlahan dipenuhi air mata, kesedihan Ryano seakan masuk begitu saja ke dalam dirinya.

"Ryan...kamu harus bahagia, nggak boleh sedih."

'Tuhan, saya mau tetap hidup. Beri waktu lebih lama lagi.'

To be continue....

FAKE SMILE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang