Chapter 21

27 13 1
                                    

Ryano menarik kursinya ke samping Aluna yang kini tengah makan berdua dengan Tio di kantin sekolah.

"Suapin," ujar lelaki itu saat Aluna tengah makan mie ayam miliknya.

Sementara Tio, lelaki itu hanya duduk diam di hadapan Aluna menemani gadis itu makan.

"Sana, minta sama Jihan," jawab Aluna sembari menjauhkan mangkoknya yang berisi mie ayam dari jangkauan Ryano.

Ryano tersenyum tipis. "Catetan matematikanya udah?" Tanya lelaki itu mengalihkan topik.

Aluna menghela napas kasar. Ia tidak suka sikap Ryano yang akhir-akhir ini bertindak seolah tidak ada masalah yang terjadi di antara keduanya.

"Udahlah, Yan. Kalau kamu lagi ngurus Jihan yang 'jatuh dikit udah patah kakinya' nggak usah ngomong sama aku," ucap Aluna kesal.

Ryano terdiam sejenak, mata lelaki itu kemudian ikut menatap Tio yang kini hanya terdiam menyaksikan keduanya dengan tatapan cool seperti biasa.

Ryano menghela napas lelah. "Itu udah tanggung jawabku, Lun," ujar Ryano yang langsung mendapat dengusan geli dari seorang Aluna.

Aluna menyeruput minumannya dan menghabiskan makanannya. Kemudian langsung berdiri dari tempat duduknya.

Gadis itu menoleh ke arah Ryano dengan tatapan datar tercetak di wajahnya. "Ya udah, kerjain tanggung jawabmu itu."

Setelahnya Aluna menarik lengan Tio dan menyeret lelaki itu untuk ikut dengannya.

Ryano terdiam tidak berkutik, ia bahkan sama sekali tidak punya nyali untuk mengejar Aluna.

"Una...," panggil lelaki itu. "Apa harusnya dari awal kita nggak usah ketemu?"

"Pfft!"

Ryano menoleh dan mendapati Jihan yang kini berada di hadapannya.

"Ternyata gampang banget, gue nggak usah repot-repot hubungan kalian udah hancur aja," ujar Jihan dengan senyum miring tercetak di wajahnya.

Ryano diam tidak menanggapinya, ia tidak ingin meladeni mbah lampir di depannya ini.

Jihan kini beralih duduk di kursi, dihadapan Ryano.

"Ryan?" Panggil gadis itu. Namun, Ryano sama sekali tidak menanggapinya.

Jihan memutar bola matanya malas. Perlahan tangan gadis itu terulur ke depan, ia menggapai wajah Ryano yang sedari tadi berpaling darinya.

"Ryano," panggil Jihan sekali lagi. Ryano yang menoleh ke arah lain, kini menoleh ke arah Jihan.

"Papa gue mau ketemu sama lo,"

Dengan segera Ryano menepis tangan Jihan dari wajahnya.

"Cukup, Han. Untungnya apa lo giniin gue?" Tanya Ryano, masalahnya kini kian menumpuk, lelaki itu hanya terlalu lelah.

Jihan menghela napas kasar. "Nggak usah ngelawan gue. Lo tau kan? Apa yang gue mau, bakalan di turutin sama bokap gue."

"Han-"

"Bahkan Luna itu nggak tau kalau orang tuanya udah mati. Nggak ada yang kasih tau soal itu, dan gue bakal bongkar semua kalau lo berani sama gue."

Ryano langsung berdiri dari kursinya. "Harusnya lo malu sama perkataanmu, Han."

Jihan ikut berdiri." Ngapain malu? Selagi Luna menderita."

Tanpa sadar, tangan Ryano sudah mengepal kuat di sisi tubuhnya. "Bahagia lo? Ngeliat orang menderita?"

"Iya, gue seneng kalau orang yang gue benci itu menderita." Jawabnya tanpa beban sedikit pun di setiap katanya.

To be continue....

FAKE SMILE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang