Aluna berjalan keluar kelas setelah diberi izin ke kamar kecil oleh guru mata pelajaran yang saat itu tengah mengajar di kelas Aluna.
Langkah kaki Aluna terhenti di depan pintu UKS. Padahal arahnya tidaklah searah. "Ngapain sih lo kesini, Lun?" Tanya gadis itu kepada dirinya sendiri.
Dengan gerakan cepat, Aluna berbalik badan menjauh dari UKS. Namun, setelah beberapa langkah kaki gadis itu terhenti.
Gadis itu akhirnya hanya bisa menghela napas gusar. Ia saat ini benar-benar bingung, tidak tau apa yang harus ia lakukan.
"Ryan maksa gue buat balik ke kelas, padahal keadaannya lagi nggak baik-baik aja." Ucapan Tio sedari tadi terus berputar-putar di kepala gadis itu.
Aluna menghela napas pelan, ia akhirnya membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya kambali menuju UKS.
Aluna membuka pintu dengan gerakan yang sangat pelan, ia mengedarkan pandangannya, mengecek apakah ada orang. Namun, tidak ada seorang pun yang berjaga di dalam sana. Gadis itu masuk dan menutup kembali pintu ruangan itu.
Hanya dengan berjalan beberapa langkah, Aluna sudah bisa melihat Ryano yang terbaring lemas di atas brankar UKS sembari sesekali lelaki itu bergumam tidak jelas di dalam tidurnya.
Pakaian lelaki itu bahkan sudah berganti menjadi seragam olahraga seperti Tio. Peluh terlihat memenuhi leher dan wajah lelaki itu.
Ryano sedang tidak baik-baik saja.
Aluna hanya bisa terdiam melihat pemandangan menyedihkan di hadapannya.
Dengan segera, Aluna mengambil kain bersih yang terdapat di dalam lemari UKS. Kemudian ia duduk di kursi yang ada di sebelah brankar tempat Ryano berbaring.
Gadis itu membersihkan peluh dari wajah Ryno yang sangat pucat. Ringisan kesakitan bahkan berulang kali terdengar dari mulut lelaki itu.
Perasaan kesal Aluna yang sedari kemarin ia tahan entah kenapa begitu melihat kondisi Ryano, perasaannya berubah menjadi sendu.
Lelaki itu terlihat menahan sakit yang teramat sangat. Suara tangis samar-samar keluar dari mulut lelaki itu.
"Sakit...,"
Jantung Aluna serasa mencelos. "Ryan..," panggil Aluna, berusaha membangunkan lelaki itu. Namun, sama sekali tidak ada respon dari Ryano selain tangisan.
Aluna dengan segera menghapus air mata yang keluar dari sudut mata lelaki itu.
"Yang mana yang sakit, Yan?" Tanya Aluna, gadis itu kini sangat ketakutan sekaligus khawatir.
"Bunda...sakit...,"
"Ryan!" Panggil Aluna kini dengan suara yang lebih keras.
"Yan!" Mata Ryan seketika terbuka bagitu saja, suara tangisan yang keluar dari mulutnya terhenti begitu saja.
Pandangan lelaki itu terpaku begitu melihat Aluna berada di sampingnya.
"Yan? Pulang, ya? Aku suruh Tio buat anter kamu pulang."
Aluna berniat memanggil Tio di kelas. Namun, tangan Ryano meraih lengannya membuat langkahnya terhenti.
"Jangan pulang," suara Ryano terdengar sangat pelan. Lelaki itu terlihat kesulitan bahkan hanya sekedar menarik napas ke dalam paru-paruhnya.
"Kenapa, Yan?"
"Nanti bunda kerepotan."
"Nggak usah aneh-aneh. Kamu lagi sakit, Yan." Aluna berusaha melepaskan genggaman Ryano dari tangannya.
"Aku serius," ujar Ryano, lelaki itu menarik tangan Aluna agar kembali duduk.
Aluna pada akhirnya hanya bisa menatap Ryano khawatir yang kini tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.
Hening panjang.
"Aku senang waktu buka mata yang pertama kali aku lihat itu kamu," ucap Ryano berusaha tertawa pelan.
Aluna tidak ikut senang, ia tidak ikut tertawa dengan ucapan Ryano kali ini.
"Kamu kenapa sih, Yan?" Aluna menghela napas gusar, matanya mulai berkaca-kaca tanpa diminta. "Ke dokter sekarang, ya?" Tanyanya kemudian.
Ryano tersenyum tipis, ia menyembunyikan rasa sakit di tubuhnya. Sebelah tangannya naik mengusap air mata yang keluar dari sudut mata gadis itu.
Air mata yang tadinya hanya secuil kini berjatuhan dengan deras.
"Mana yang sakit, hm?" Tanya Ryano.
"Yang tanya itu harusnya aku, Yan. Kamu kenapa? Kamu lagi sakit apa?"
Ryano terdiam cukup lama. Air mata Aluna yang jatuh di wajah gadis itu membuatnya tidak tenang. "Aku cuma kecapean, Lun."
Aluna berdecak kesal. "Mana ada orang kecapean sampai nangis kesakitan kayak gitu."
"Emang aku nangis?" Tanya Ryano, lelaki itu masih belum menyadari wajahnya yang sembab karena menangis.
Aluna berdiri dari kursinya, tangannya kemudian naik mengusap jejak air mata lelaki itu. "Iya, Ryan," balasnya singkat.
"Kamu nangis kesakitan kayak orang mau mati, Yan."
Ryano terdiam mendengar ucapan gadis itu.
"Luna," panggil lelaki itu dengan sura beratnya. Pandangan lelaki itu menatap dalam Aluna yang kini berdiri di hadapannya.
Ia menggapai sebelah tangan Aluna, kemudian mendekatkannya ke mulutnya. Sebuah ciuman mendarat di punggung tangan gadis itu.
"Mau tau impian terbesar aku?" Tanya Ryano pelan.
"Yan..."
"Aku mau kamu ada di dalam pelukanku saat aku mati."
To be continue....
KAMU SEDANG MEMBACA
FAKE SMILE
Teen Fiction"Di peluk oleh luka, dikuatkan oleh rasa dan tawa untuk berpura-pura." ••• Jika banyak remaja ingin menjadi kaya, tapi tidak dengan Ryano Aldevaro. Cita-citanya hanya satu, "Mau disayang dan di peluk papa, Ryan pengen bunda sama papa nggak bertengka...