"Mau makan apa?" Tanya Ryano sembari membolak-balikkan menu. Ia dan Aluna kini berada di kantin sekolah.
"Mau makan kamu."
Ryano sontak berhenti membaca menu kemudian menoleh ke arah gadis di hadapannya yang kini tengah cengengesan sendiri.
"Pikirannya nggak boleh kotor," ucapnya sembari menjitak pelan dahi gadis itu, kemudian kembali melihat menu.
Aluna tertawa pelan, sikap Ryano akhir-akhir ini kembali cool seperti beberapa waktu yang lalu, dinginnya bagaikan seribu pintu kulkas.
Aluna menoleh ke meja di samping mereka, di sana ada Lyla dan Si kembar. Keduanya sengaja memisahkan diri karena Aluna ingin fokus menyalin catatan Ryano dan mengejar ketertinggalannya sebagai murid baru.
"Soal yang ini gimana sih, Yan?" Tanya Aluna sembari menunjukkan sebuah soal matematika kepada Ryano.
Ryano yang baru saja kembali setelah selesai memesan makanan langsung mengambil alih buku Aluna.
Tangan Ryano bergerak mengambil alih pulpen yang bertengger di atas bibirnya Aluna.
"Easy," ujarnya lalu tangannya mulai menuliskan rumus yang bisa memecahkan soal itu.
"Belajar matematika itu sama saja dengan belajar memahami," tangannya masih sibuk menulis jawaban dari soal itu.
"Matematika bukan hanya sekedar menghapal rumus, tetapi lebih ke pemahaman tentang apa isi soal dan apa yang di inginkan soal itu," Ryano menyodorkan kembali buku itu ke Aluna.
"Understand?" Tanyanya kemudian.
Aluna diam membeku, ucapan Ryano tidak ada satupun yang masuk ke dalam otaknya.
Tangan Aluna bergerak menutup semua buku pelajarannya yang berada di atas meja. "Kalau buat sekarang aku nggak paham dan nggak mau belajar."
Ryano menghela napas pelan, ia kembali duduk tegak di kursinya. Namun tiba-tiba, rasa mual membuat lelaki itu langsung menutup mulutnya menggunakan kepalan tangan.
Aluna mengerutkan kening melihatnya. "Kamu kenapa, Yan?" Tanya gadis itu langsung.
Ryano terdiam sejenak. "Nggak kenapa-kenapa," ujarnya sambil berdiri dari kursinya.
"Kamu mau kemana, Yan?" Tanya Aluna.
"Kamar kecil. Kamu tunggu di sini bentar," setelahnya Ryano langsung meninggalakan kantin itu.
Lyla yang berada di meja sebelah tentu memperhatikannya. "Ryan kenapa, Lun? Kok kayaknya dia sakit gitu?" Tanyanya.
Aluna menggedikkan bahunya, ia pun tidak tau. Pandangannya menatap khawatir ke tempat di mana punggung Ryano menghilang.
"Ryan itu sakit," ucap Tio yang tiba-tiba keluar dari mulutnya. Sontak Nio, Aluna dan Lyla menoleh ke arahnya.
"Hah? Sakit apa?" Tanya Aluna. Pandangan Tio yang sedari tadi menunduk memainkan ponsel, kini naik menatap satu per satu sahabat-sahabatnya.
"Nggak tau, tapi Ryan udah kegilangan kurang lebih sepuluh kilo berat badannya dalam waktu kurang dari sebulan." Ketiga sahabatnya kompak membulatkan mata tidak percaya.
"Tau dari mana lo?" Tanya Nio tidak percaya, padahal Ryano selalu makan banyak dan terlihat sehat di pengelihatannya.
"Nggak sengaja gue ngelihat data pemeriksaan yang kita lakuin per bulan di UKS." Ujar Tio.
"Turun sepuluh kilo dalam waktu kurang dari satu bulan itu nggak wajar," ucap Lyla.
Pandangan Tio kini berubah menjadi tajam. "Ryan nyembunyiin sesuatu dari kita semua."
"Waktu itu, gue tanya data pemeriksaannya dia dan..." Tio menjeda kalimatnya, matanya beralih menatap Ryano yang baru saja keluar dari kamar kecil dengan wajah yang sedikit basah, sepertinya sehabis cuci muka, sambil mengusap bekas air di wajahnya.
"Ryan bohong."
To be continue....
KAMU SEDANG MEMBACA
FAKE SMILE
Ficțiune adolescenți"Di peluk oleh luka, dikuatkan oleh rasa dan tawa untuk berpura-pura." ••• Jika banyak remaja ingin menjadi kaya, tapi tidak dengan Ryano Aldevaro. Cita-citanya hanya satu, "Mau disayang dan di peluk papa, Ryan pengen bunda sama papa nggak bertengka...