Ryano memejamkan mata saat jarum suntik menembus kulit di lengannya.
"Bagaimana perasaan kamu?" Tanya dokter yang selama ini menangani Ryano setelah menyuntikkan obat kemoterapi ke dalam tubuh lelaki itu.
Matanya kembali terbuka, ia terdiam sejenak. Lelaki itu dapat melihat Nisa yang berdiri sambil menatapnya cemas di salah satu sudut ruangan.
"Lumayan."
Dokter dan para perawat yang mengelilingi Ryano tersenyum tipis. "Bagus, setidaknya obatnya bekerja dengan baik di tubuh kamu."
"Mari, Bu, saya antar," ujar salah seorang perawat mengajak Nisa meninggalkan ruangan itu.
Ryano masih harus berdiam diri di sana, kalau-kalau ada efek samping obat kemoterapi yang terjadi atau ketika tubuhnya menolak obat-obatan itu.
"Baiklah, Ryan. Saya permisi," ujar dokter itu sembari melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu keluar ruangan. Namun, langkahnya terhenti ketika dokter itu merasakan ada yang menarik lengan jasnya.
Doter itu membalikkan badan. "Iya, kenapa, Ryan?"
Ryano sedikit ragu awalnya, tapi ia memberanikan diri untuk bertanya.
"Nggak bisa di operasi aja, ya, kangker saya?" Tanya Ryano yang terdengar sendu. Ia tidak ingin berlama-lama kemoterapi, efek yang ia dapatkan setelah kemoterapi selesai sangatlah menyiksanya.
Dokter itu menghela napas, tangannya kemudian menggenggam kuat tangan Ryano, bagaimana pun ia harus menyemangati lelaki ini.
"Ryan, kangker kamu ada di dalam jantung. Pembedahan tidak dapat kita lakukan saat ini. Hanya terapi radiasi atau kemoterapi yang dapat kita lakukan saat ini." Ujarnya dengan lembut.
Ryano terdiam sejenak, lelaki itu mengerti, sangat mengerti. Pertanyaan itu sering ia ajukan, hanya saja ia tidak dapat menerima kenyataan dan ingin mendengar jawaban lain dari pertanyaannya.
Ryano akhirnya tersenyum tipis, ia kemudian melepaskan ujung jas dokter itu. "Saya mengerti, makasih, Dok."
Ryano kembali menutup matanya. Setelah beberapa hening, suara pintu yang tertutup menandakan ia sekarang tengah sendirian di ruangan itu.
Ryano perlahan membuka matanya, tawa pelan keluar dari mulutnya. Lelaki itu tengah menertawai dirinya yang begitu lemah dan tidak bisa diandalkan.
"Yaudahlah, besok-besok lo pasti mati juga, Yan."
▪︎▪︎▪︎
Ryano kini tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit, ia kembali menunggu Nisa yang sedang berbincang dengan dokter.
Bukannya tidak ingin mendengar perkataan dokter. Namun, bagaimana mereka membicarakan tentang kematian Ryano yang semakin mendekat, Ryano lebih memilih untuk menjauh dan tidak mendengarnya.
Ryano melihat sekeliling dan mendapati Dio tengah sendirian di ruang tunggu. Dio adalah pasien yang mengidap penyakit ganas sepertinya, bahkan di umurnya masih menginjak dua belas tahun. Karena bosan, Ryano pun melangkahkan kakinya ke arah Dio kemudian berjongkok di depannya.
"Dio? Ngapain sendirian disini? Mama kamu mana?" Tanya Ryano dengan lembut.
"Mama lagi di dalem sama dokter, jadi Dio nunggu di luar. Soalnya Dio takut denger kalau Dio bakalan mati," jawabnnya dengan sendu.
"Dio masih bisa ketemu mama sama papa nggak? Terus, Dio masih bisa ketemu Kak Ian nggak?"
Gawat! Tubuh Ryano seketika terasa lemas, rasanya ia ingin menangis. "Berdoa sama Tuhan, Dio."
"Gimana doa-nya, Kak?"
Ryano menyatukan kedua tangan Dio.
"Tuhan," ucap Ryano.
"Tuhan," Dio menirukan ucapan Ryano.
"Di kehidupan selanjutnya."
"Di kehidupan selanjutnya."
"Saya masih ingin menemui mereka."
"Saya masih ingin me-" ucapan Dio terhenti begitu saja saat melihat Ryano meneteskan air mata.
"Saya ingin membuatnya bahagia dan terus menjaganya."
"Saya tidak mau membuat Bunda kesusahan mencari uang untuk biaya pengobatan saya yang sangat mahal."
"Saya tidak mau hidup di tubuh lemah dengan kangker jantung di dalam ini, Tuhan."
Ryano menarik tubuh Dio masuk kedalam pelukannya. Harusnya ia tidak menangis di depan anak kecil yang tidak tau apapun.
"Ryan." Sebuah tangan menyentuh pundak Ryano membuat lelaki itu terdiam sejenak.
Lelaki itu menoleh ke belakang. "Jihan?"
Jihan merendahkan badannya, menejejerkan badannya dengan badan Ryano. "Kenapa nangis kamu, Yan?" Tanya gadis itu sembari tersenyum tipis.
Tangan gadis itu naik mengusap air mata di wajah Ryano.
"Sekarat, Yan?" Tanya gadis itu sembari terkekeh geli. Ia telah mendengarkan baik-baik percakapan Ryano dengan anak laki-laki yang saat ini terlihat kebingungan.
Ryano segera berdiri dari depan Dio, kemudian melangkahkan kakinya menjauh. Namun, tangan Jihan melingkar di perutnya tiba-tiba membuat langkahnya terhenti detik itu juga.
"Aku bisa bantu kamu, Ryan." Gadis itu menyandarkan kepalanya di punggung lebar Ryano.
Shit!
To be continue....
KAMU SEDANG MEMBACA
FAKE SMILE
Teen Fiction"Di peluk oleh luka, dikuatkan oleh rasa dan tawa untuk berpura-pura." ••• Jika banyak remaja ingin menjadi kaya, tapi tidak dengan Ryano Aldevaro. Cita-citanya hanya satu, "Mau disayang dan di peluk papa, Ryan pengen bunda sama papa nggak bertengka...