[ 2023 ]
Mix tertidur pulas. Dengan sangat hati-hati, Gun melepaskan tangannya dari genggaman alpha kecil itu. Setelah puas menangis dan merasa dadanya lebih longgar, Gun memutuskan untuk pergi dari sana.
Gun menunduk sebentar, diam-diam memandangi jejak-jejak wajah Off yang tersemat dalam pahatan wajah Mix. Alisnya yang tebal, hidungnya yang bangir, dahinya yang luas. Gun tersenyum samar. Kedua alpha itu memang mirip. Selayaknya seorang Ayah dan putra.
Gun membelai sayang rambut Mix. Berhati-hati agar tidak mengenai perban yang melingkar di kepalanya. Saat merasa dadanya kian lega, Gun melangkah mundur.
Ia akan pergi.
Lagi.
Gun merasa dadanya tiba-tiba sesak. Off mungkin masih mencintainya. Putranya tidak membencinya. Dan kedua alpha itu sedang menunggu Gun untuk kembali. Tetapi Gun tetap memilih untuk pergi.
Tidak.
Sejak awal, Gun sudah bukan bagian dari mereka. Putranya maupun alpha-nya sudah bahagia tanpa keberadaannya. Gun tidak perlu mengusik mereka.
Gun melangkah menuju pintu. Pandangannya menoleh sekali lagi ke arah Mix yang terlelap sebelum benar-benar pergi dari ruangan itu.
***
Off terburu-buru berjalan ke rumah sakit sesaat setelah mendapat kabar dari sekretarisnya bahwa putranya dirawat. Pihak rumah sakit menelfon saat ia sedang rapat. Telfonnya diangkat oleh sekretaris yang baru-baru ini bekerja di perusahaannya. Karena takut mengganggu, sekretaris itu baru memberi tahu Off setelah rapat selesai, sekitar 2 jam setelahnya. Off menghabiskan waktu setengah jam untuk memarahi sekretaris baru itu habis-habisan.
Langkahnya tergesa. Percikan amarah masih samar-samar tampak di rautnya yang khawatir. Off tipe orang yang jarang sekali marah. Namun sekali marah, ia bisa bertahan dalam emosi itu seharian.
"Katakan, siapa yang menyakitimu!" Ucap Off begitu ia sampai di kamar putranya.
Mix baru bangun. Melihat ayahnya datang dengan emosi yang menggebu, Mix hanya menghela nafas.
"Tidak ada."
"Katakan!" Off menggunakan suara alpha-nya. Sayang sekali, putranya adalah alpha istimewa.
"Aku. Aku menyakiti diriku sendiri, Ayah. Duduklah dulu. Kau menyeramkan. Pantas saja Dadda meninggalkanmu."
Dahi Off berkerut tidak suka. Alisnya menukik tajam, menunggu penjelasan. Tapi ia menurut dan duduk.
Off menarik dan menghembuskan nafas panjang. Berusaha menenangkan diri.
"Apa yang terjadi?"
Mix berusaha duduk dengan nyaman di atas brankar. Bantalnya ia letakkan di belakang punggung.
"Dia memang Dadda." Mix menerawang langit-langit. Senyumnya mengembang saat mengingat keberadaan Gun beberapa saat yang lalu. "Dia menangis saat melihatku terluka. Dia mengantarku ke rumah sakit. Dia menjagaku agar aku bisa beristirahat. Dia menggenggam tanganku. Dia berkata, dia merindukanku."
Off berusaha mencerna ucapan putranya. Saat sadar, ia berdiri dari duduknya tiba-tiba.
"Kau—" Off berdecak. "Kau menyakiti dirimu sendiri hanya untuk mengujinya?" Off berucap tidak percaya.
Mix mengedikkan bahu tidak peduli. "Aku hanya memukul kepalaku pelan. Tidak sakit. Fisikku kebal."
"Kau keterlaluan. Bercandamu berlebihan."
"Aku tidak bercanda."
"Mix Sahaphap!"
Ayahnya marah. Mix membuang muka. Mix selalu tidak suka saat Ayahnya marah.
"Lebih baik daripada hanya diam dan membiarkannya pergi begitu saja, kan?" Suara Mix melirih. Ia menatap ke samping, menolak menatap Ayahnya. "Seperti yang Ayah lakukan dulu."
Off menghela nafas. Ia kembali duduk dan berusaha menenangkan diri lagi.
"Hey, dengar... Ayah hanya tidak suka kau menyakiti diri—"
"Dadda mengajukan surat pengunduran diri di sekolah."
Off terdiam. Mix melanjutkan kalimatnya.
"Aku melihatnya tadi pagi. Dia menemui kepala sekolah dengan membawa surat pengunduran diri. Ayah tau aku tidak suka sendirian. Enam belas tahun ini, Dadda tidak ada. Tapi aku masih punya Ayah. Dalam waktu dekat, kalau Ayah masih bersikeras mencintai Dadda, aku akan sendirian."
Off menunduk. Putranya benar.
"Ayah..."
Off mengangkat wajah, menatap wajah Mix yang terlihat frustasi dan putus asa.
"Bisakah kau berhenti mencintainya?"
Off menatap putranya tidak tega. Mix selalu tahu seberapa besar cinta yang dimilikinya pada mate-nya.
Off tersenyum. Merasa bersalah.
"Maafkan Ayah."
Mix merebahkan tubuh memunggungi Ayahnya. Ia bahkan meninggikan selimut, memberi batas antara dirinya dan Ayahnya.
***
Gun menutup pintu rumahnya dengan lesu. Setelah berkali-kali menghadap kepala sekolah, permohonan perpindahannya dipersulit. Kepala sekolah terus saja menunda-nunda keinginan Gun.
Gun meletakkan dokumen permohonan pindahnya di atas meja. Ia lalu merebahkan diri di sofa. Bekerja melelahkan. Tidak bekerja dan berurusan dengan rumit kehidupan juga lebih melelahkan. Gun menghela nafas. Ia hanya ingin hidup tenang.
Tanpa sengaja, tatapannya terarah pada gitar akustik yang tergantung rapi di dinding. Ujung jari-jarinya terasa gatal. Sudah lama sejak terakhir kali Gun memainkan alat musik itu.
Gun beranjak dari sofa, berjalan ke sudut ruang untuk meraih gitarnya, lalu kembali duduk di sofa.
Gun memetik senar hati-hati. Ada ketenangan yang menyeruak di dadanya setiap kali ia mendengar petikan gitar. Gun memetik lagi, memainkan nada acak sambil bersenandung kecil.
Ingatannya kembali ke masa-masa ia masih kuliah di sekolah impiannya. Gun pikir, asal ia memiliki talenta, ia bisa bersekolah di sekolah impiannya dengan mudah. Nyatanya, di sana, di tempat seluruh orang berbakat dari penjuru negeri berkumpul, talenta saja tidak cukup. Bahkan jika Gun bekerja keras, ia masih kalah dengan yang lebih populer, kalah dengan yang memiliki koneksi, kalah dengan yang lebih pandai berbicara di depan umum. Ada banyak sekali kriteria untuk debut sebagai musisi. Dan di sekolah terbaik sekalipun, akan selalu ada deretan siswa biasa yang gagal meraih impian besarnya. Gun berakhir lulus dengan nilai apa adanya dan berakhir mengajar di sekolah yang tidak terlalu ternama.
Tapi biarlah. Gun mensyukuri jalan hidupnya. Menjadi tenaga pendidik membuatnya bisa bertemu kembali dengan putranya. Mungkin, kegagalan mimpinya untuk debut juga merupakan sebuah karma, sebuah dosa yang harus ia terima karena meninggalkan putra kecilnya. Mungkin, ia sengaja dikirim ke sekolah ini untuk menebus kesalahannya.
Ia sudah bertemu Mix. Gun begitu bersyukur putranya tumbuh sehat dan menawan. Begitu ramah dan menyenangkan. Off pasti telah mendidiknya dengan baik.
Off... Alpha-nya. Alpha-nya satu-satunya.
Gun merasakan getir di lidah setiap kali merapalkan nama itu. Getir yang membuat Gun merasa sendu. Getir yang membuatnya merasa sedikit rindu. Alpha-nya adalah alpha terbaik yang pernah ia kenal. Putranya akan menjadi alpha hebat dalam didikan Off.
Tiba-tiba, handphone Gun berdering. Gun menghentikan petikan gitarnya. Ia beralih meraih handphone, memandangi layar untuk melihat siapa yang menelfon.
Nomor rumah sakit...?
Untuk apa pihak rumah sakit menghubunginya?
"Halo?"
Gun mengangkat telfon dengan was-was.
"Dadda..." Suara Mix. Parau. Seperti menahan tangis.
Gun berdebar takut. Mix adalah alpha istimewa. Jarang sekali mendengarnya berbicara dengan memohon dan terdengar begitu putus asa.
"Dadda tolong Ayah..."
— ♡ ❅ ♡ —

KAMU SEDANG MEMBACA
OCHRE [ OffGun ]
FanficABOVERSE - MPREG Gun, wali kelas X IPS, harus dibuat kewalahan oleh seorang murid alpha 16 tahun, Mix Sahaphap. Kenakalan remajanya yang membuat banyak guru berkeluh kesah membuat Gun bertanya-tanya tentang bagaimana Mix tumbuh. "Kamu tau kenapa Mix...