01. String

650 63 3
                                        


[ 2023 ]

"Merokok..." Gun mensedekapkan kedua tangan. Kakinya disilangkan, mencoba se-alpha mungkin walau jauh di dalam dirinya, naluri omega-nya merasa gemetar menghadapi murid alpha-nya satu ini. "Memakai aksesoris, membolos saat upacara, telat masuk jam pelajaran, pembelaan apalagi yang ingin kau katakan?"

Mix Sahaphap, seorang alpha 16 tahun, baru 3 bulan menduduki kelas X IPS di Grammy High School, tetapi sudah memecah rekor menjadi siswa dengan pelanggaran terbanyak.

"Tidak ada." Siswa 16 tahun itu menatap Gun tanpa takut. Tidak ada percik rasa bersalah di matanya. Tipikal alpha pongah yang Gun benci. "Mister Gun boleh menghukum saya apa saja. Tapi tolong kembalikan kalung saya."

"Hanya kalung?"

Mix mengangguk yakin. Membuat dahi Gun berkernyit heran.

"Baiklah." Final Gun. "Saya akan pikirkan hukuman tindak lanjut kamu setelah bertemu dengan walimu."

Kedua mata Mix membola. "Kalau Ayah datang, anda akan mengembalikan kalung saya?"

Sejak 3 bulan yang lalu, setelah ditetapkan sebagai wali kelas X IPS dan bertemu Mix, Gun tahu, ia merasa familiar dengan binar matanya. Tatapannya ketika antusias, atau rautnya ketika serius, samar-samar mengingatkan Gun pada bayangan seseorang. Tetapi Gun berusaha menepisnya. Ia adalah tenaga pendidik, maka ia ingin mengabdikan diri untuk mendidik.

"Akan saya pikirkan setelah pertemuan besok."

***

Gun menyembunyikan diri di dalam ruang UKS, ruang yang berseberangan dengan kantor guru. Jantungnya berdegup kencang. Desir takut membanjiri tubuhnya yang gemetar. Ia merosot jatuh ke lantai, menyandarkan punggung pada pintu UKS yang tertutup.

Gun panik saat telfonnya berdering. Takut seseorang mendengar deringnya, ia buru-buru mengangkat telfon.

'Mister Gun, dimana?' Suara waka kesiswaan. 'Kau memiliki janji temu dengan orangtua Mix Sahaphap, jangan bilang kau lupa?'

"Maaf..." Gun sangat berharap suara gemetarnya tidak sampai di seberang sambungan. "Maafkan aku..."

'Mister Gun? Kau tidak apa-apa? Kau terdengar seperti akan menangis?' Ah... Sepertinya harapannya tidak terkabul.

"Aku..." Gun menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menenangkan batinnya. "Aku tidak apa-apa. Bisa tolong gantikan aku bertemu dengan orangtua Mix?"

'Ya... Tentu saja.' Gun bersyukur ia memiliki atasan yang pengertian. 'Akan kuberitahu hasilnya padamu nanti.'

"Terima kasih, Miss Alice." Lalu, sambungan ditutup.

Gun meletakkan handphone di lantai sembarangan, ingin sejauh mungkin dari jangkauan orang-orang yang ingin menghubunginya. Gun merogoh kalung di saku jasnya buru-buru, memperhatikan liontin simbol infinity yang menggantung di tengah rantai perak.

Gun mendekatkan liontin itu ke matanya, memperhatikan lebih teliti. Dengan takut yang tidak berhenti menenggelamkan tubuhnya, Gun membalik liontin itu. Kedua matanya membola, dadanya sesak, tangis dengan cepat menemukan jalan untuk membanjir di pipinya.

Dengan kalung yang tergenggam erat di tangan, Gun memeluk lutut, mengisak sendirian di ruang UKS yang lengang.

Benar.

Kalung itu miliknya.

Atau setidaknya, pernah menjadi miliknya.


— ♡ ❤ ♡ —

OCHRE [ OffGun ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang