R - 13

57 16 0
                                    

⭐Please Support Follow, Comment, and Vote⭐

.

.

.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Kenneth tidak berbohong tatkala dirinya akan menemani Sheina untuk berkunjung ke makam Agam. Buktinya, pria itu rela menyampingkan pekerjaannya dan menemani Sheina yang tengah terduduk tepat di sebelah pusara Agam.

Hampir tiga puluh menit berlalu dari kedatangan mereka dan sepertinya Sheina belum juga berkenan untuk beranjak. Sejak tadi, gadis itu hanya diam termenung seraya mengusap-usap benda hitam bertuliskan baris nama sang pria.

"Shei, gue tunggu di mobil, ya," celetuk Kenneth seraya menepuk pelan bahu Sheina.

Kenneth paham dan mengerti jika temannya itu mungkin membutuhkan ruang untuk meluapkan segala emosinya. Alhasil, ia lebih memilih untuk beranjak dari sana.

Gadis itu mengulas senyum lalu mengangguk samar. Ia membiarkan pria itu berlalu kembali ke mobil.

Hening seketika mendominasi tatkala Kenneth telah tak terlihat lagi dari arah pandang Sheina. Gadis itu masih asik menatap tempat peristirahatan terakhir kekasihnya. Ah, atau mantan kekasihnya? Apapun itu, namun yang jelas pemandangan di depannya ini seolah menjadi pemandangan yang paling indah bagi Sheina.

"Gam, aku di sini," cicit Sheina memulai monolognya, "Maaf kalau aku baru sempet kesini."

Sheina menyesat air matanya. Hatinya sesak seolah pasokan udara di sekitarnya kian menipis.

"Gam, aku baru tahu kalau rindu itu sesakit ini, ya. Dulu, kalau aku kangen, aku tinggal telepon kamu minta ketemu, sekarang aku kangen tapi aku nggak bisa peluk kamu, Gam," ucap gadis itu sesenggukan.

Sheina mengusap lelehan air yang semakin deras membasahi wajahnya. Tangisannya sudah tidak bisa terbendung lagi. Ia mengatur napasnya berusaha menguasai tangisannya ini.

"Gam, aku nggak tahu ini buat kamu kecewa atau engga. Tapi.. tapi.. aku sudah menikah, aku.. aku.. terpaksa, Gam."

Sheina terus bermonolog, kendatipun gadis itu tahu jika tidak akan ada yang merespon ucapannya. Netranya terpejam sesaat, mati-matian menahan agar lelehan bening tak kembali jatuh.

"Maaf kalau aku harus menikah sama Kakak kamu, Gam. Ma-maaf.."

Sheina terisak pilu, dadanya semakin sesak. Nyatanya ia belum mampu menahan tangisannya.

"Aku.. aku.. pamit, Gam. Aku nggak sanggup lagi. Tolong jangan benci aku, ya. Aku sayang kamu selalu."

Cukup! Cukup sudah! Sheina tidak kuat lagi tinggal lebih lama. Gadis itu mengusap air matanya kasar lalu beranjak dari tempat itu.

Setelah tangisannya mereda dan bisa menguasai dirinya, Sheina memutuskan untuk kembali ke mobil Kenneth. Mati-matian ia berusaha untuk menutupi kesedihannya, namun semua itu percuma tatkala jejak-jejak tangisnya masih tertinggal di wajahnya.

"Ken, ke cafe Agam, ya," ucap Sheina tanpa mau repot-repot menoleh ke arah lawan bicaranya.

Sang pria menghela napas sebelum kembali melajukan mobilnya menuruti perintah sang gadis.

Tak butuh waktu lama, pun jalanan yang tidak terlalu macet, Sheina dan Kenneth tiba di coffee shop milik Agam. Coffee shop yang Agam rintis bersama kawan lamanya.

Harum kopi seketika menguar menyapa penghidu Sheina. Tak ketinggalan pula wangi kue yang baru selesai dipanggang.

"Sheina?" sapa seorang pria yang tengah membawa langkahnya mendekati Sheina.

RENJANA || MYG ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang