⭐Please Support Follow, Comment, and Vote⭐
.
.
.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷
"Ara!" seru seorang pria tatkala dirinya baru saja menapakkan kaki di lobby kantornya.
Sang gadis yang namanya dipanggil itu justru mempercepat langkahnya. Tak berniat untuk berhenti. Bahkan, menoleh pun tidak.
"Ara! Tunggu sebentar!" Alden mempercepat langkahnya, berusaha mengejar gadis itu.
Ara berlari kecil tanpa menoleh sedikitpun ke arah atasannya. Cepat-cepat ia menuju lift yang kebetulan pintunya tengah terbuka. Namun, saat satu langkah lagi ia mencapai tujuan, pintu lift tersebut mendadak tertutup.
Mampus gue! umpat Ara dalam hatinya.
Gadis itu sudah tidak bisa menghindar lagi. Lantas, mau tidak mau ia harus menghadapi atasannya itu.
Ara berbalik, memaksakan senyumnya menyambut Alden yang telah berada di hadapannya.
"I-iya, Pak? Ba-Bapak manggil saya?" gadis itu bertanya gelagapan.
"Tidak usah berpura-pura, Ara," sindir Alden.
"Eh.. m-maaf, Pak." Ara mendadak gugup.
"Saya panggil dari tadi kenapa kamu malah menghindari saya!" decak Alden kesal.
"Ah, itu.. itu.."
"Sudahlah, lupakan!" sela Alden cepat, "Saya cuma mau tanya, apa Sheina masih menginap di rumahmu?" sambungnya.
Ara mengulum bibirnya sesaat. Kedua netranya bergulir kesana kemari, seperti sedang kebingungan. Memang begitu adanya. Ara bingung harus menjawab apa.
"Ara?" ucap Alden lagi.
"Ah.. anu, Pak. Sheina.. Sheina semalam nggak nginap di rumah saya," jawab Ara susah payah.
Kedua alis Alden saling bertaut, "Lalu?"
Susah payah Ara menelan air liurnya. Satu sisi ia ingin berbicara, namun di sisi lain ia ingat jika Sheina melarang memberikan kabar apapun jika Alden bertanya.
Alden menyipitkan matanya. Jelas sekali ia menyimpulkan jika ada sesuatu yang ditutupi oleh karyawannya itu.
"Ara, tolong jawab pertanyaan saya!" ucap Alden lebih seperti perintah yang tidak ingin dibantah.
"Itu, Pak. Semalam.. semalam Sheina pu-pulang ke rumah Ibunya." Ara menunduk dalam. Hatinya tak berhenti merapalkan doa, berharap agar Sheina tak memarahinya.
"Pulang?" cicit Alden nyaris tak terdengar.
Berbagai macam pertanyaan seketika terlintas di benak Alden. Berbagai asumsi-asumsi negatif seketika mengambil alih pikirannya.
Alden tidak ingin menampik jika di mata Sheina kesalahannya kali ini sangatlah fatal. Tentu ia sadar dan tidak ada satu pun alasan baginya untuk menyangkal itu semua. Buktinya, Sheina lebih memilih untuk kembali ke rumah ibunya, bukan kembali ke rumah mereka.
"Baiklah, terima kasih, Ara," lirih Alden menutup pembicaraan.
Setelah pembicaraannya dengan Ara, Alden bergegas menuju ke ruangannya. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya seraya mengurut batang hidungnya. Netranya terpejam, sibuk memikirkan cara apalagi yang harus dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENJANA || MYG ✔️
RomancePerpisahan yang paling menyakitkan harus dialami Sheina dan Agam saat pernikahan mereka telah di depan mata. Sheina terpaksa melanjutkan pernikahan dengan Alden-Kakak Agam-sebagai pengganti calon suaminya. Kehidupan rumah tangga yang Sheina impikan...