Buya

51 12 9
                                    

Kirana menghadap sebelah kanan. Ia memutuskan tiduran di atas kasur setelah selesai bersih-bersih yang membutuhkan waktu 1 jam setengah.

Sekarang Kirana kedinginan ia memakai selimut sampai menutupi bagian kepalanya. Sehingga yang terlihat hanya wajahnya saja.

Ia menuruti apa kata Arshaka yang menyuruhnya untuk menangis di kamar saja. Kalau dipikir-pikir iya juga. Sendirian di tengah hujan malam-malam di halte itu sangat menakutkan.

Sedih boleh, mikir keamanan juga harus. Jangan karena sedih, membuatmu menjadi bodoh.

Mata kirana sudah bengkak, akibat menangis sedari tadi. Kini ia cuma bengong menatap kosong benda yang ada di hadapannya.

"Hasbunallah wani mal wakil ni mal maula wani'man nasir."

Sedari tadi bibir mungilnya melantunkan itu agar hatinya tenang. Yang artinya 'Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baiknya pelindung.'

Tetapi lagi-lagi air matanya jatuh.

🖤🖤🖤

Di bawah deras hujan Arshaka menangis sejadi-jadinya di balik helm full face-nya. Ia membawa motor dengan kecepatan yang cukup tinggi. Tidak peduli dengan orang sekitar. Ia lampiaskan semua rasa sakitnya dengan cara seperti ini.

Malam ini ia benar-benar benci semua hal yang terjadi dalam dirinya. Ia benci menjadi manusia mengenaskan yang tidak pernah merasakan bahagia seperti orang lain kebanyakan.

Bruk

Arshaka menabrak tiang listrik. Bukannya bangkit, Arshaka malah membiarkan tubuhnya yang jatuh itu tertimpa motor. Tidak ada usaha untuk bangun. Ia malah melanjutkan tangisnya yang tanpa suara itu.

Arshaka membiarkan tangisnya puas keluar. Ia juga membiarkan rasa sakit di hatinya menyatu dengan rasa sakit pada tubuhnya. Ia juga membiarkan hujan terus menerus membasahi tubuhnya. Arshaka sudah merasa tidak layak menjadi manusia, setelah banyaknya cobaan yang ia lalui sedaridulu.

Satu tangan dengan lengan baju berwarna putih panjang terulur tepat di wajah Arshaka. "Bangun Nak. Saya tahu kamu sadar," ucapnya dengan suara yang amat lembut.

"Tinggalkan saya sendiri," ucapnya dengan suara parau.

"Lututmu telah banyak mengeluarkan darah. Bisa infeksi jika tidak langsung diobati."

"Rasa sakit pada lutut saya tidak seberapa dengan rasa sakit yang telah Tuhan berikan kepada saya."

"Astaghfirullahaladzim Nak, tidak baik berbicara seperti itu. Ayo bangun, Buya bantu bersihkan lukanya."

Lelaki paruh baya berjubah putih itu membangunkan Arshaka. Sampai Arshaka bisa berdiri. "Kamu Buya bonceng ya, kamu peluk Buya saja di belakang."

"Buya bisa bawa motor saya?"

Buya tersenyum. "Bisa dong."

Akhirnya Buya membawa motor Arshaka dan Arshaka pun menuruti perkataan Buya untuk memeluknya di belakang.

Setelah sampai di depan Masjid Buya menuruni Arshaka. "Duduk!"

Arshaka berkata heran. "Ngapain Buya ajak saya ke sini?"

"Sementara saya tinggal di sini. Peralatan untuk membersihkan luka kamu ada di dalam. Jadi, duduklah dengan tenang di sini."

Arshaka mengiyakan saja apa kata lelaki yang baru dikenalnya ini. Lelaki yang usianya sekitar 60 tahunan. Tetapi masih gagah mengendarai motornya.

Bagaimana Hari Ini, An? [END] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang