BAB 13

14 4 0
                                    

Hanna yang baru saja mematikan handphonenya sontak tangannya kembali menyalakannya, sebuah notifikasi yang tertera di layar handphonenya yang baru saja ia terima. Ia membuka isi pesan itu dan ternyata dari Kafka.

Setelah Hanna mengirim lokasi Kafe ini berada, kini ia mematikan handphonenya. Sebenarnya Hanna ingin sendiri dulu, tapi di lain sisi mungkin dirinya seperti butuh seseorang. Kalau pun tadi Hanna tidak memberi tahu di mana ia sekarang, lelaki itu akan memaksanya jadi ia kirim saja apa yang Kafka minta.

"Melamun aja."

"Gak kok, aku cuma natap ke luar."

"Sama aja kali karena pandangan lo yang lurus."

"Beda Kaf. Melamun sama menatap itu beda."

"Iya sesuka lo aja deh." Ucap Kafka diselingi kekehan. "Udah jam segini tapi lo belum pulang."

Waktu menunjukkan jam 08.30, dan sudah lebih setengah jam Hanna berada di Kafe. Kafe ini masih nampak ramai begitupun di luar sana di jalanan masih banyak orang-orang yang berlalu lalang. Hal itu membuat Hanna berpikir dengan apa yang di ucapkan Kafka, apa ia sudah menyuruhnya untuk pulang, apa ia gak liat ke sekitar yang masih ramai.

"Aku belum mau. Masih ramai juga kok."

"Cewek gak baik keluar sendiri, apalagi malam-malam."

"Aku udah biasa kali Kaf."

"Lo banyak banget ya kebiasaannya."

Hanna hanya terkekeh menanggapi ucapan lelaki di hadapannya.

"Dari tadi lo di sini?" Tanya Kafka setelah menyeruput coffe nya.

"Lumayan."

"Kamu sendiri ngapain malam-malam ke sini?" Tanya Hanna.

"Gue mau aja."

"Ga jelas banget. Terus kamu tinggalin Radit sendirian?"

"Yoi, dia gak apa-apa kok di tinggalin. Udah biasa."

"Di tinggalin saat lagi sayang-sayangnya, kayak kamu."

"Apaansih."

"Sorry aku cuma bercanda." Ucap Hanna yang melihat raut muka Kafka berubah.

Hening sejenak yang tercipta di antara mereka.

Kafka yang sedang memperhatikan Hanna yang sedang menatap ke arah luar membuat ia yang melihatnya secara intens dapat di ketahui kalau tatapan cewek itu berupa tatapan kosong di matanya yang seperti tersirat suatu luka dan di tambah dengan Kafka yang merasakan kalau gadis itu sudah meneteskan air mata. Ia berpikir seperti itu karena ia pernah merasakannya pada seseorang dari masa lalunya.

"Lo kenapa?"

"Gak kenapa-napa kok." Ucap Hanna berbohong.

"Lo jujur aja. You must have a problem right?"

Hanna tersenyum simpul. "Sok tau kamu."

"Han kita itu temen dan harus saling membantu. Itukan yang pernah lo katakan."

Alina menghela nafas.
"Tapi kaf--."

"Kalau lo ada masalah lo bisa cerita ke gue. Walaupun gue gak ngasih lo solusi, tapi seenggaknya gue bisa jadi tempat cerita lo. Seperti lo membuang masalah lo lewat gue, gue akan terima Han." Ucap Kafka dari hati terdalam.

Hanna menatap ke arah Kafka tepat di manik matanya. Ia melihat tidak ada kepalsuan dalam berbicara. Hanna yang mendengar ucapan Kafka merasa tersentuh. Tanpa sadar satu butiran air mata yang menetes, sontak Hanna langsung mengusapnya dan mengalihkan pandangan dari Kafka.

A Journey Love in ParisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang