17. Schedule In The Dark 🌑

371 25 0
                                    

'Berjalan di atas roda yang berputar, tidak ada pembeda antara titik awal dan titik akhir. Sejauh apapun melangkah, pada akhirnya akan kembali ke titik awal.'

Tumpukan formulir pendaftaran dari setiap universitas termewah sudah berserakan di atas meja makan. Girana, sang ayah yang terkenal tegas di hadapan putranya itulah yang menyerahkan langsung semua dokumen penting pada sang anak.

"Pilih lah satu universitas yang kau mau, ayah bisa memasukannya dengan mudah tanpa ujian tes masuk apapun." Tutur Girana, ia menatap sang anak yang tak sekali pun melirik ke arah dokumen-dokumen di hadapannya. Jemi lebih memilih melahap buah-buahan segar itu dengan tenang.

"Aku sudah bilang pada ayah. Aku tidak akan memulai perkuliahan tahun ini. Beri aku waktu untuk tahun depan. Ayah tahu kan, aku masih ingin bermain-main dari pada sibuk dengan laporan kampus." Masih dengan mulut yang penuh dengan buah.

Mendapatkan alasan tak berfaedah dari sang anak, membuat Girana memijat batang hidungnya dengan rasa pening yang mendera. Tak salah, sikap keras kepala yang Jemi miliki, adalah sifat turunan dari Girana sendiri.

"Kau...! Mengapa harus menunggu tahun depan? Lebih cepat lebih baik kan? Ayah tidak mau tau, senin depan kau harus segera menentukan pilihan mu. Ayah tidak punya waktu, ayah harus keluar kota untuk mengurusi pekerjaan." Tutur Girana, tatapan tajam dan tegasnya tak bisa dibantah sedikit pun oleh Jemi.

"Ck... selalu saja memaksa!" Gerutunya pelan, tapi sang ayah masih bisa mendengarkan keluhan itu.

"Apa kau bilang? Kau mau membantah ku?" Tanya Girana geram. Jemarinya sudah meremat kencang, seakan menahan emosi pada keegoisan putranya.

"Sudah... sayang!" Karina memegang lembut jemari Girana agar tenang. Seketika itu pula Girana kembali pada kendalinya.

"Jemi, sayang. Menurut saja ya...! Tidak apa-apa, kalau kau kesulitan mengerjakan tugas, biar ibu yang bantu mengerjakan tugas mu!" Tutur Karina, seolah percaya diri bahwa ia mampu mengurusinya.

Girana tertawa kecil, seolah terhibur dengan ucap Karina yang menggemaskan karena kepolosannya. Pun, seakan lupa pada amarahnya di beberapa saat yang lalu. Bagaimana bisa ia mengerjakan tugas kuliah Jemi, sedangkan belajar menghitung saja, Kirana masih salah.

"Kenapa kau menertawakan ku? Kau meremehkan ku karena aku bodoh ya?" Tanyanya, Karina sedikit tersinggung oleh tawaan sang suami yang menatapnya dengan gemas.

"Tidak, kau hanya menggemaskan saja Karina. Sudah, biarkan Jemi belajar tanggung jawab pada pekerjaannya sendiri. Kita sebagai orang tua hanya perlu mengawasi dia." Usap Girana pada surai panjang nan hitam sang istri. Meski terkesan tak handal dalam bidang akademik, bagi Girana, Karina tetap mempesona dalam segi tingkah lakunya.

"Tapi mas, boleh tidak aku ikut kuliah bersama Jemi? Aku juga ingin kuliah seperti orang lain. Setiap pertemuan keluarga, aku selalu dipandang sebelah mata karena lulusan SD." Tuturnya, jemari itu tak pernah lepas menggoyah tangan Girana. Bahkan Jemi yang menatap sang ibu yang bermanja pada Girana, sedikit terabaikan begitu saja.

Benar, tak jarang ibu dari Panji dan Diana itu selalu meremehkan Karina. Mereka merasa paling pintar dan berkelas dibandingkan Karina yang lulusan SD dan hanya mengandalkan kualitas fisik. Tapi di balik itu semua, sebenarnya ada rasa iri yang terpendam pada diri mereka, karena istri dari Geri, tepatnya adik dari Girana selalu saja mencuri-curi pandang pada kecantikan Karina yang luar biasa.

Bagi mereka, baju apapun yang dipakai Karina selalu nampak indah dan cocok untuk dikenakan. Pun tak jarang banyak orang yang terpesona pada Karina yang selalu terlihat awet muda setiap tahunnya. Sebesar apapun Karina bersikap ramah,  mereka tak akan pernah mau bergaul dengan Karina. Entah lah, kesombongan mereka terlalu melewati batas.

History Blue (PARK JEONGWOO) by Pupuriri30Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang