Dalam keheningan malam, Panji terbaring menatap sinar lampu yang benderang di atasnya. Seakan rumit dengan pilihan yang berkecamuk dalam pikiran. Ia benar-benar bingung pada hatinya sendiri, apakah sosok yang bernama Sandara itu telah berhasil mengambil hatinya? Ataukah singgah untuk sementara saja?
Panji mengakui bahwa Sandara memang menarik. Tapi ia ragu apakah ketertarikan yang muncul dalam hatinya tulus ataukah insting seorang laki-laki saja. Apalagi pertemuan pertama mereka berhubungan dengan sewa menyewa seorang wanita. Panji ingat kala itu, Sandara secara terang-terangan menawarkan dirinya di akun burung biru dengan harga yang mahal. Dan anehnya Panji menyetujuinya dengan mudah. Ia tak menyangka kalau pertemuan itu bisa membekas sampai saat ini, bahkan sampai membekas di hati.
Sementara itu, Gumile yang sejak awal terduduk di meja belajarnya, ikut menatap sang kawan dengan raut yang bingung. Tak biasanya kedatangan Panji ke rumahnya itu hanya untuk sekedar rebahan saja. Biasanya Panji aktif dengan kegiatan lain, seperti membaca novel erotik, atau bermain game. Tidak melamun seperti itu.
"Apa sebenarnya yang kau pikirkan? Kau tampak lesu." Ucap Gumile. Akhirnya ia terpaksa berhenti dari tugasnya. Pun dengan mudah mengalihkan atensinya pada Panji. Toh ia juga sudah muak pada kumpulan tugas kampus yang menumpuk dari minggu-minggu kemarin. Kini, ia lebih tertarik pada cerita Panji yang galau gulana di kediamannya.
"Gadis itu membuat ku bingung lagi." Ucapnya, melirik Gumile sekejap. Setelahnya berpaling pada sebuah rubik yang bertengger di atas meja milik Gumile.
"Sandara maksud mu?"
"Ya! Semakin hari aku semakin peduli kepadanya. Aku ragu kalau aku sudah mencintainya." Tutur Panji. Ingatannya kembali pada kecemasan yang ia dapatkan tempo lalu. Yang rela meninggalkan Diana hanya untuk menemui Sandara di rumah sakit. Sampai sepupunya itu merengek kepada Panji seolah tak mau ditinggalkan.
"Kau tau, Gumile. Sudah tiga tahun aku tidak menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Selama itu aku hanya berbaur layaknya teman biasa. Hingga perlahan hatiku mati dengan sendirinya. Intinya, aku lupa caranya jatuh cinta dengan tulus." Lanjutnya, memaparkan perasaan dengan jelas.
Gumile tersenyum kecil, setelahnya mengangguk paham. Ia mencoba menghampiri kawannya yang sudah berpindah posisi menjadi duduk di pinggiran kasur. Gumile paham maksud kebingungan kawannya itu. Toh Gumile dan Panji sama-sama tak pernah berkomitmen dengan wanita secara khusus. Keduanya hanya bersenang-senang semata dengan para wanita bayaran. Ya, meskipun Panji tak semaniak dirinya.
"Maksudmu, kau butuh meyakinkan perasaan mu sendiri?" Tebak Gumile. Melihat Panji mengangguk, ia mencoba memberikan saran yang jitu untuk dicoba.
"Kalau begitu, cobalah untuk menyewa perempuan lain ke hotel. Kau bisa tidur dengan mereka. Lalu bandingkan chemistry perempuan lain dengan Sandara. Jika sama saja, berarti kau tak benar-benar mencintai Sandara. Mungkin kau hanya tertarik, atau mungkin karena kau merasa kasihan saja kepadanya." Ucap Gumile, menepuk pundak Panji untuk menentukan pilihannya.
"Harus kah?" Tanya Panji, ia berpikir dua kali. Tidak ada salahnya untuk mencoba saran Gumile. Toh, ia butuh seseorang untuk membandingkan perasaannya pada Sandara.
Gumile mengangguk dengan yakin. Ada senyum khas yang memperhatikan lesung pipi di kedua sisinya.
"Kalau begitu, tolong rekomendasikan seorang perempuan yang terbaik untuk ku. Dan berikan nomornya kepada ku saat ini juga. Besok aku akan menyuruhnya datang ke hotel x. Untuk biaya, itu urusan ku." Ucap Panji. Ia sudah yakin dengan keputusannya. Sekedar menguji bagaimana tentang hatinya. Jika ia goyah pada perempuan tersebut, mungkin perasaannya pada Sandara hanya atas dasar ketertarikan nafsu semata saja. Tapi jika sebaliknya, mungkin akan menjadi lampu hijau bagi Panji untuk menjadikan Sandara sebagai kekasih. Itu saja.
"Baiklah, aku akan memilih yang terbaik untuk mu. Kau hanya perlu duduk manis saja. Tapi...—" ucapnya. Di akhir kalimat Gumile mendekatkan mulutnya pada telinga Panji untuk berbisik.
"Tapi apa?"
"Dia lumayan mahal. Tapi body nya tak perlu diragukan lagi." Lanjut Gumile.
"Tak masalah." Finisnya. Panji menyetujuinya secara cuma-cuma.
Malam itu, Jemi baru saja kembali ke dalam kamar, setelah menuntaskan percakapan panjang dengan Glen tentang beberapa hal. Salah satunya tentang keikutsertaan Glen pada pekerjaan Girana di luar kota.
Alhasil satu minggu itu, Glen tak bisa menemani Jemi untuk pergi ke mana pun yang ia mau. Jemi terpaksa harus meng-handle semuanya sendiri. Tapi tak masalah, jika sendiri, ia lebih bebas pergi ke mana pun yang ia mau. Ia juga ingin mengendarai mobil pribadinya yang sudah lama tersimpan di dalam garasi.
Jujur saja, malam ini terasa panjang baginya. Pun terlalu banyak gangguan yang tak terduga dari beberapa pihak. Jemi sudah lelah, ia ingin segera tidur di samping Sandara sambil memeluknya. Mungkin akan lebih hangat jika tidur saling berpeluk dengan orang yang diidamkannya selama ini.
"Sandara, apa kau tidur?" Panggilnya, pada sang gadis yang bergulung nyenyak di balik selimut dari ujung kepala hingga kaki.
Tak ada jawaban. Hanya suara senyap dari deru napas yang tampak damai dalam lelapnya. Kala itu, Jemi membuka selimut yang menutupi bagian kepala Sandara. Tak lain untuk melihat kembali wajah perempuan yang terang-terangan mengungkapkan kalau ia tak menyukai Jemi sama sekali.
Mengingat kembali bagaimana Sandara berontak dan memakinya, laki-laki itu tersenyum kecil. Baginya sedikit menggemaskan melihat sosok gadis yang keras kepala itu. Pada akhirnya ia jatuh pada pelukan Jemi dengan mudah.
"Kau menyebalkan. Tapi aku menyukai mu." Ucapnya, terduduk di samping kasur Sandara yang terbaring. Sesekali, jemarinya bermain di bagian surai legam sang gadis, hanya untuk menyingsingkan helaian rambut yang menghalangi wajah cantiknya.
"Baiklah, mari kita tidur bersama. Aku akan memeluk mu sampai pagi." Ucapnya, sebelum ikut berbaring ke samping kasur yang kosong. Jemi melepas kacamata nya di atas nakas. Setelahnya memberikan kecupan singkat pada ranum merah itu.
Di samping Sadara, Jemi masuk pada balutan selimut yang sama. Pun sedikit membenahi diri untuk membawa kepala Sandara pada lengannya sebagai bantalan.
"Peluk aku seperti ini, Sandara!" Ucapnya, menarik pelan tangan Sandara untuk melingkar pada lehernya. Sedangkan tangan Jemi memeluk erat tubuh ramping Sandara dengan erat.
"Selamat malam." Ucapnya.
Hangat, itu yang disukai Jemi dari momen indah malam ini. Tidak ada pergulatan tubuh yang ia idamkan. Tapi tak masalah, setidaknya ia bisa tidur bersama Sandara dengan nyaman, pun saling berpelukan satu sama lain. Jika Sandara sadar, mungkin ia akan memaki dirinya sendiri di keesokan harinya.
"Aku menunggu reaksi mu esok hari. Kala kau tahu, bahwa kita saling berpeluk mesra seperti ini. Pasti sangat lucu... terlebih lagi kau sangat membenci ku kan?" Jemi tertawa pelan, membayangkan bagaimana perasaan Sandara kelak. Haruskah Jemi melebih-lebihkan keadaan? Jika Sandara percaya, mungkin ia akan semakin merutuki dirinya sendiri.
Menggemaskan.
TBC...
Vote ya 😬
KAMU SEDANG MEMBACA
History Blue (PARK JEONGWOO) by Pupuriri30
Fanfic"Aku beli perempuan ini, di aplikasi burung biru..." Panji 🔞 ➡️Jeongwoo as Panji Kharisma ➡️Tokoh lain akan menyusul Penulis: Pupuriri30 100% hasil penulis. Fiktif / hanya karangan belaka. Tidak ada sangkut paut dengan kehidupan nyata tokoh. (M...