21. Hidden

152 26 5
                                    

Semuanya bagai mimpi yang tak pernah diharapkan sama sekali. Jika harus memilih, mungkin ia akan memilih mati dari pada hidup di dunia yang penuh dengan ketidakadilan. Faktanya, apa yang terjadi pada dia, berbanding terbalik dengan keinginan. Sandara harus bangun kembali untuk menikmati hidup yang entah akan seperti apa di kedepannya.

"Ternyata, aku masih hidup." Benaknya.

Mata yang terbuka perlahan itu menatap atap-atap kamar rumah sakit dengan bias cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela. Menandakan bahwa hari telah berlalu, kian berganti ke hari lain, saat kemarin sore jatuh tak sadarkan diri.

Ini adalah waktu tidur terlama yang pernah ia alami sepanjang hidup. Setelah sekian lama tak cukup beristirahat karena harus bekerja siang dan malam untuk mencari sepeser uang. Sandara lelah, benar-benar lelah dengan hidup seperti ini. Menanggung beban hutang dengan kekerasan fisik dari ayah tiri yang tak punya hati.

Ia tak bisa hidup seperti gadis-gadis di luar sana yang bisa hidup nyaman dengan kasih sayang. Pun bisa melaksanakan pendidikan ke jenjang atas untuk memperbaiki hidup. Baginya dunianya memang tak seadil itu untuk dilakoni.

"Kau sudah bangun?" Ucap seseorang dari arah pintu. Pun menjadi suara pamiliar yang pernah ia dengar. Laki-laki itu perlahan mendekat ke arahnya, dengan senyuman indah yang tak pernah berubah sedikit pun. Tetap menawan, dan selalu menghangatkan hati di setiap saat.

"Syukurlah, aku mengkhawatirkan mu, Sandara! Dokter juga sudah mengobati luka-lukamu." Lanjutnya, laki-laki itu menatap wajah pucat Sandara dengan hiasan luka kebiruan di ujung ranum. Ia ikut merasakan linu pada apa yang dialami sang gadis.

Panji heran, mengapa ada sosok ayah yang tega seperti Usman, ia sampai rela menyakiti putrinya hanya karena tak diberi uang untuk berjudi. Menyebalkan.

"Panji...!" Sahutnya, ia spontan mendudukkan diri dari baring. Hanya untuk memastikan kembali bahwa sosok tersebut adalah Panji. Tak peduli jika otot perut yang memar-memar itu masih terasa sakit untuk digerakkan. Fokusnya sekarang hanya untuk Panji yang telah berjasa besar kepadanya.

"Hati-hati, jangan bangun dulu! Kau belum pulih total." Tuturnya dengan suara lembut. Saat itu Panji semakin mendekat, ia membantu mendudukkan Sandara ke dekat kepala ranjang, agar sang gadis merasa nyaman dalam posisi duduknya.

Sandara benar-benar terharu. Entah sudah ke berapa kali ia menolong Sandara di masa sulit. Terkadang ia berpikir siapa sosok Panji itu? Ia selalu ada di waktu yang tepat, atau di saat Sandara butuh pertolongannya.

"Aku tidak apa-apa. Tenang saja, tubuh ku sudah membaik dari sebelumnya. Terima kasih sudah menjagaku!" Jedanya, laki-laki itu hanya mengangguk. Ia melayangkan senyuman tulus untuk sang gadis yang sudah kembali sadar dari lelapnya. Betapa leganya perasaan Panji kali ini, setelah semalaman penuh dihantui rasa khawatir pada kondisi Sandara yang tampak lemah.

"Apakah kau yang membawa ku ke sini?" Tanya Sandara. Sebelumnya ia mengingat ada seseorang yang meyelamatkan dirinya dari kekerasan Usman di kejadian kemarin sore. Tapi Sandara sendiri tak tahu siapa laki-laki itu.

"Gumile yang menyelamatkan mu kemarin sore. Ia juga yang membawa mu ke sini." Tutur Panji. Ia mendudukkan tubuhnya di sudut kasur, hanya untuk bersanding lebih dekat lagi pada gadis yang bernasib malang seperti Sandara.

"Gumile? Kenapa dia bisa menolong ku? Di mana dia sekarang?" Tanya Sandara. Setidaknya ia harus berterima kasih pada Gumile. Sosok yang pernah dianggap berbahaya oleh Sandara itu ternyata telah berjasa besar. Tak bisa dipungkiri kalau Sandara telah berhutang nyawa pada Gumile.

Sungguh jauh dari ekspektasi. Benaknya terus bertanya-tanya untuk apa Gumile mendatangi rumahnya sore itu. Dan membuang uang secara cuma-cuma untuk ayah tiri yang gila dengan judi. Jujur saja, ia sedikit terkejut dengan sosok Gumile yang disebut-sebut telah menyelamatkan Sandara dari kekerasan fisik itu.

History Blue (PARK JEONGWOO) by Pupuriri30Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang