"1...2...3..." Jemi menghitung apa yang akan terjadi di balik kamar mandi itu.
Seakan telah memprediksinya sejak awal."Aaaaaa...." Setelahnya sebuah jeritan dari Sandara melengking ke seluruh penjuru kamar.
Mendengar itu, Jemi tertawa-tawa dengan puas di kursi balkon, ia bisa menebak bagaimana paniknya wajah cantik Sandara yang merutuk di balik cermin kamar mandi, kala satu tanda kemerahan di bagian lehernya benar-benar terpampang dengan jelas. Bagai suatu kecupan murni yang Jemi ciptakan malam tadi, kala Sandara terlelap tidur dalam dekapnya.
Hari masih pagi, tapi ia sudah terhibur dengan wajah panik Sandara yang perlahan mendekat ke arahnya, meminta suatu pembenaran dengan apa yang telah Jemi lakukan tanpa izin.
"Apa yang kau lakukan kepada ku, Tuan Jemi? Mengapa kau lancang sekali." Rutuk Sandara. Di hadapan Jemi ia menunjuk satu tanda di leher bagian kanannya dengan telunjuk.
"Lancang apa? Aku tidak melakukan apapun." Ucapnya dengan santai. Pun dengan senyuman tampan yang tersorot sinar matahari pagi yang tampak segar.
"Bohong! Tanda merah ini, kau yang melakukan nya kan? Tega sekali... Bagaimana aku bisa berangkat kerja jika penampilan ku seperti ini." Rengeknya, jujur saja ia ingin menangis saat itu. Sandara memang awam soal cinta. Tapi bukan berarti ia polos tentang segalanya. Gadis itu tau kalau tanda yang dimaksudnya adalah kissmark. Dan sangat tahu jika pelakunya adalah orang yang sedang tertawa masam di hadapannya.
"Mungkin saja seekor nyamuk telah menggigit leher mu. Positif thinking saja." Ucapnya santai, seakan menganggapnya dengan sepele. Padahal sudah jelas kalau Jemi adalah pelaku utamanya. Alasannya hanya karena Jemi senang menggoda gadis mengemaskan yang sedang merutuk di hadapannya.
"Tidak mungkin. Rumah sebagus ini tidak mungkin ada nyamuk. Kau yang melakukan ini padaku kan, Tuan? Jujur saja?!" Tuduh Sandara, ia sudah jengkel. Apalagi siang ini, ia harus bekerja di kedai kopi yang notabenenya melayani banyak pelanggan. Apa kata mereka nanti.
Jemi lagi-lagi tersenyum. Menahan rasa gemas di hatinya untuk tak menerkam sang gadis detik ini juga.
Sejenak, Jemi menyesap sebuah kopi dalam cangkir dengan perlahan. Setelahnya menatap gadis cantik itu dengan lekat."Maksudmu, kau berharap aku yang menyesap kulit leher mu, begitu?" Tanya Jemi, mengintrogasi sosok gadis yang tiba-tiba membeku dalam tempatnya. Bagai suatu pertanyaan jebakan yang entah bagaimana cara menjawabnya.
"A... aku tidak berharap. Tapi firasat ku kau yang melakukan nya." Ucapnya gagap. Lidah Sendara seakan kaku tiba-tiba, tak seberani sebelumnya.
Mendengar itu, Jemi tertawa lagi. Entah sudah keberapa kali ia tertawa. Mengingat sudah lama tak pernah tertawa sebahagia seperti sekarang ini. Setelah hidup hambar dalam keseharian, meski semua keinginannya telah terpenuhi.
"Seperti ini maksud mu?" Tanya Jemi, mencoba menarik tangan Sandara dengan keras. Sampai gadis itu terduduk di atas lahunan Jemi secara paksa. Bahkan lancang mempraktekkan suatu tindak yang semalam ia lakukan pada Sandara. Yakni menyesap kembali leher sebelah kirinya yang masih bersih tanpa tanda. Hingga kemerahan itu bertambah menjadi dua di setiap sudut lehernya.
"Akh, sakit... Stop!"
Sandara mendorong bahu Jemi hingga menjauh, agar Jemi berhenti menyesap kulit lehernya dengan gigitan kecil yang terasa perih.
"Seperti ini maksud mu? Dengan senang hati aku memberikannya untuk mu. Sebagai TANDA CINTA." Ucap Jemi penuh penekanan di kalimat akhir.
"Bajingan..." Ucapnya refleks. Sandara memaki kasar untuk pertama kali.
"Dari pada kau memaki ku, lebih baik kau mengucapkan terima kasih. Dilihat dari cara mu memaki, sepertinya kau sudah sembuh." Tutur Jemi, mengingat obat yang ia berikan pada Sandara tadi malam sangat bagus dengan harga yang mahal.
KAMU SEDANG MEMBACA
History Blue (PARK JEONGWOO) by Pupuriri30
Fiksi Penggemar"Aku beli perempuan ini, di aplikasi burung biru..." Panji 🔞 ➡️Jeongwoo as Panji Kharisma ➡️Tokoh lain akan menyusul Penulis: Pupuriri30 100% hasil penulis. Fiktif / hanya karangan belaka. Tidak ada sangkut paut dengan kehidupan nyata tokoh. (M...