Dingin begitu menusuk, kaki Ana sedari tadi tak bisa berdiam, terus bergerak mengetuk-ngetuk lantai rumah sakit. Tangannya saling bertautan, matanya terpejam, selalu berdoa tiap detiknya.
"Tuhan, Sassy belum bahagia. Tolong jangan ambil dia!"
"Tolong–" Ana membuka matanya, menatap pintu ruang operasi yang terbuka, seorang pria dengan pakai biru lengkap dengan penutup kepala keluar dari ruangan.
Ana bangkit dari duduknya, bangkit dengan banyak harapan. "Tolong, sekali ini saja!"
Mulut Ana bergerak, suaranya mulai keluar dari tenggorokan. "Ba-bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanyanya, masih dengan banyak harapan. "Baik-baik saja, kan?"
"Maaf ...."
Ana meremat ujung bajunya, kedua tangannya terkepal kuat. "Tolong!"
"Kami sudah berusaha sebaik mungkin!"
Kaki Ana melemas, dirinya memundurkan langkah kakinya, kembali terduduk dengan pandangan kosong. "Dunia jahat, yah?"
"Saya permisi, turut berduka cita!"
Langkah kaki terdengar mulai menjauh, Ana masih terdiam. Tak bergerak sedikit pun. Terlalu sakit mendengar berita yang harusnya belum ia dengar.
"Lalu? Kenapa dibiarkan bertahan kalau akhirnya diambil sebelum bahagia, kenapa? Tuhan!"
Butir air mata berjatuhan, sesak menyerang rongga dadanya. Ia kalah—jauh sebelum memulai.
Ana mulai bergerak, berjalan menuju ruangan di depannya, bergerak masuk dengan harapan-harapannya.
Semakin dingin, itu yang Ana rasakan saat berada di samping tubuh Sassy yang sudah memucat. Sangat dingin, kesan pertama yang ia rasakan saat menggenggam tangan gadis itu. "Tenang selalu, Sassy!" Ana semakin mempererat genggamannya. Malam ini adalah malam terdingin yang ia rasakan, wajah gadis yang selalu memberinya semangat kini terbaring lemah di hadapannya. "Kita menang."
****
Gue—aku yang menulis, Sassy Sellyna.
Tidak berharap lebih, hanya ingin bahagia. Kita berhak bahagia.
Menyerah bukan berarti kita lemah. Aku dengan segala pikiran buruk, tetap bertahan untuk hidup.
Kita dengan luka yang berbeda berhak bahagia. Namun, bukan kebahagian kalau harus menumbangkan yang lainnya.
Kalian tidak berhak mengambil kebahagiaan itu. Aku dengan rasa trauma ini mati-matian bertahan hidup, entah sampai kapan!!!
Dunia tidak jahat, penghuninya yang jahat!!
Izin mendapat keadilan, Tuhan!
Aku lelah, selalu!!
Hidup di atas rasa takut sangatlah mengerikan!!
Aku bersama teman-temanku, ingin keadilan!!
Apa kami terlalu jahat karena meminta keadilan?
Kami berbohong? Iya
Namun, mereka yang meminta!!!
Tolong, biarkan kami bahagia.
Entah sudah berapa kali Ana membaca tulisan itu. Namun, rasanya sama saja, menyesakan. Kepalanya mendongak ke atas, menatap bintang-bintang yang bertabur indah di atas sana. "Sudah bahagia?" monolognya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Sassy (Tahap Revisi)
ActionCerita ini hasil dari pemikiran saya sendiri, PLAGIAT DILARANG ❌ MENDEKAT. Typo di mana-mana! **** Gadis SMA yang menjadi korban bully di sekolahnya tiba-tiba kembali ke sekolah setelah 3 bulan berada di rumah sakit, dia datang dengan penampilan ser...