Bab 21

82 12 6
                                    

Warning ⚠️⚠️⚠️

Tinggalkan jejak disini dengan cara vote dan komen sebagai bentuk menghargai tulisan ini. Jangan mau jadi silent reader. Karena vote dan komen itu gratis kok :)

Qonita POV

Sudah delapan hari mata indahnya masih terhalang oleh kelopak mata yang tertutup. Entah kenapa selama itu juga, aku jadi sering memandang wajahnya. Menatap lekat-lekat wajah yang terlihat damai dalam tidurnya.

Aku pikir setelah operasinya berjalan dengan lancar Mas Zidan akan segera sadarkan diri dan kembali sehat namun sampai hari ini Mas Zidan belum juga siuman. Kondisinya masih memerlukan perawatan intensif. Kata Dokter ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi saat Mas Zidan sadar nanti. Pada umumnya ada beberapa dampak setelah melakukan operasi pendarahan otak seperti kesulitan berbicara, pembengkakan otak, atau kelumpuhan. Sungguh aku tidak ingin hal buruk itu terjadi kepada Mas Zidan.

"Mas... apa kamu tidak pegal terus berbaring disini?" Dengan lembut aku mulai mengelap wajah Mas Zidan dengan kain yang telah dibasahi air hangat. Dapat aku akui bahwa Mas Zidan ternyata memiliki wajah yang tampan. Dengan kulitnya yang putih bersih, dan setiap lekuk wajahnya yang terlihat indah. Apalagi jika bibirnya menerbitkan senyuman, maka ketampanannya akan bertambah berkali-kali lipat.

"Cepatlah bangun..." Tiba-tiba suaraku bergetar. Aku menggigit bibir bawahku. Menahan diri untuk tidak menangis karena tidak tahu kenapa akhir-akhir ini aku menjadi mudah sekali menangis. Rasa takut masih terselip di hatiku.

Ya Robb... Yang Maha Pemberi Kesembuhan. Berikanlah kesadaran untuk Mas Zidan, sehatkanlah dia setelah siuman nanti. Janganlah Engkau timpakan kesakitan kepadanya. Karena sudah terlalu banyak luka yang dia dapatkan dariku.

"Aku sangat berharap kamu akan segera sadar, Mas. Berikan aku kesempatan untuk bisa meminta maaf kepadamu secara langsung. Apa kamu mau memaafkan sikap kasarku selama ini, Mas? Bangunlah! Aku sangat ingin melihat senyuman yang selalu kamu berikan kepadaku."

Egoiskah aku memintanya untuk tetap tersenyum meskipun yang selalu aku berikan adalah rasa pedih.

"Mas... Sebentar lagi kita akan mempunyai keponakan. Kemungkinan minggu ini Mbak Fatim akan melahirkan. Dari hasil USG jenis kelamin anaknya perempuan. Aku tidak sabar ingin segera melihat anaknya lahir. Pasti dia akan cantik seperti Mbak Fatim, iya kan Mas?" aku tahu Mas Zidan tidak akan menjawab. Namun aku yakin Mas Zidan pasti mendengar setiap ucapan yang aku lontarkan. "Aku harap dia akan menjadi anak yang manis seperti ibunya. Jangan sampai mengikuti jejak ayahnya yang sering bersikap menyebalkan. Kamu setuju kan sama aku kalau Bang Ical memang menyebalkan?"

"Tapi Mas sebenarnya aku tidak terlalu suka anak kecil. Aku rasa anak kecil itu terlalu berisik dan selalu membuat keributan. Makanya aku tidak pernah bermain dengan anak kecil. Bahkan menggendong bayi pun belum pernah aku lakukan. Jadi apa yang harus aku lakukan kalau anak Bang Ical dan Mbak Fatim lahir? Nanti anak mereka akan menyukaiku atau tidak, Mas?"

"Abang pun tidak yakin dia akan menyukaimu atau tidak." Aku membalikkan tubuh saat suara bariton tiba-tiba terdengar menimpali ucapanku, membuatku terkejut karenanya. "Entah dia akan senang atau tertekan jika tahu bahwa tantenya suka sekali mengomel, moodyan, dan jarang tersenyum." Bang Faisal yang menggandeng Mbak Fatimah tengah berjalan ke arahku.

Mataku membulat mendengar jawaban dari Bang Faisal. Bukannya membuatku lebih tenang malah membuatku semakin over thinking. Lagian sejak kapan Bang Faisal dan Mbak Fatimah berada disana? Apa sedari tadi mereka mendengar ocehanku? "Bisa gak sih Bang kalau masuk itu ketuk pintu dulu? Untung aku gak jantungan gara-gara kaget liat penampakan," hardikku.

Yakin Masuk Surga?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang