23

919 16 0
                                    

Tak berapa lama kemudian, seorang wanita dengan jas putih dan stetoskop di lehernya berlari secepat mungkin menaiki tangga, hingga sampai di kamar Aira.

Dengan cepat dia memeriksa Aira yang tengah tergeletak tak sadarkan diri diatas kasur. Sedangkan Tio mondar-mandir, tak jelas didekat pintu keluar.

Dokter itu mulai menggerakkan stetoskopnya menuju dada Aira, wajahnya tampak biasa saja. Lalu menarik stetoskopnya untuk dirangkul semula di lehernya.

"Tuan, nona muda hanya kelelahan. Tidak ada masalah serius" ucap dokter itu dingin.

"Bukan masalah serius, hm? Lalu.. Kenapa dia masih belum sadar?" alis Tio terangkat tegas.

"Tuan muda, saya tahu hutang keluarga saya dulu. Tapi kali ini..... Saya jujur. Nona muda hanya kelelahan"

"Hm... Oke. Saya percaya padamu untuk sementara. Tapi, jika kau macam-macam, keluarga putra. Nama, kediaman, bahkan jejak saja tidak akan ada didunia ini lagi. Kau dengar?!"

Dokter itu mengangguk lalu keluar dari kamar Aira.

Tio menatap punggung dokter yang sudah hilang ditelan tembok dengan curiga.

"Jay!"

Panggil Tio dan seketika muncul seorang lelaki di balkon kamar. Tio menatap Aira yang masih pingsan sebentar. Lalu pergi menuju lelaki itu.

"Apa yang bisa saya bantu, tuan?"

"Selidiki Seara, dia agak mencurigakan"

"Seara? Putri keluarga putra? Bukankah dia baru saja datang, untuk menangani nona muda?"

"Ya, masih belum cukup bukti. Jadi... Lebih baik main petak umpet dulu. Sebelum melakukan penyergapan"

"Tapi... Apa anda yakin, dengan mengurung tuan muda Leo dikediaman utama. Akan menjamin keselamatan nona muda?"

"Tidak, dia bisa lolos dengan mudah. Itu hanya pencegahan awal. Kalian juga. Perintahkan anggota khusus, untuk mengintai kediaman utama"

Jari jemari Aira bergerak pelan. Membuat Tio yang sedang memakai meja belajar Aira sebagai ganti meja kerja terusik, dan menoleh. Senyum terukir diwajahnya, karena melihat Aira sudah sadar.

"Kenapa, kak?" tanya Aira.

"Engga, cuma seneng aja. Lo bisa dihukum lagi" ucap Tio jahil.

Aira yang tak tahu bahwa itu hanya kejahilan Tio, memasang wajah cemberut dan bersedekap dada.

"Wait, i'm just kidding. Hihi"

Aira duduk dengan kerutan di dahinya "bahasa apa itu, aneh banget"

"Inggris"

Aira mengangguk "kakak bisa bahasa Inggris?"

Tio mengedipkan sebelah matanya "bisa sikit"

"Boleh ajarin ga?"

Tio menatap Aira dengan tatapan menginterogasi "bilang aja takut dihukum beneran... "

Aira bercengir.

Ceklek!

Tio kembali kedalam kamar Aira, sebelumnya ia kaluar dengan alasan ada urusan. Lalu kembali dengan seorang laki-laki yang familiar bagi Aira.

"Devan?" tunjuk Aira pada laki-laki dibelakang Tio.

"Dia bodyguard, pribadi mu" ucap Tio.

Aira hanya tercengang dan merasa dikekang.

"Ga mau, nanti aku ga bebas-"

"Emng, emang ga boleh bebas-bebas. Nanti ikut-ikut pergaulan bebas. Ga boleh!!" tegas Tio.

"Tap-"

"Ga ada tapi-tapi. Aku harus pergi, kalian jangan macem-macem!" ucap Tio setelah melihat jam tangannya. Lalu pergi keluar.

"Apa lo liat-liat?" tanya Aira risih.

"Ga ada, cuma ga nyangka aja. Lo sekaya ini" ucap Devan dengan senyum diwajahnya.

"Aku ga kaya. Yang kaya, tuh yang barusan keluar tadi" ucap Aira.

"Dia siapa? Pacar lo?"

"Bukan"

"Kakak lo?"

"Bukan"

"Trus?"

Aira menatap ke balkon kamar "ga siapa-siapa gue"

"Heh, rupanya sipendek yang judes dipanti dulu, udah jadi orkay sekarang" ucap Devan dengan tawa remeh.

"Ck, diem. Lagian... Lo kenapa bisa keluar dari panti dan jadi pengawal gue, sih?" tanya Aira kesal.

"Lah, lo sendiri kenapa bisa keluar anj*r. Malah ngatain gue"

"Gue diadopsi, dan lo?"

"Gue keluar sendiri, kenapa?"

"Aih, diem. Diem. Diem. DIEM!!" cecar Aira "kenapa gue selalu diganggu sama orang gaya lo, hah?"

"Kalau ga mau diganggu, mati aja"

Aira semakin depresi. Memang, Devan adalah orang yang paling dibenci oleh Aira saat masih dipanti.

GADIS POLOS MILIK MAFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang