Selamat membaca, teman-teman 🫶🏻
🌬❄️❄️
Untuk pertama kalinya, aku merindukan hangatnya mentari.
Semuanya terlihat putih dalam pandanganku. Aku berpijak pada tanah berselimut serba putih, dengan pepohonan disekeliling berbalut serba putih juga. Tidak ada angin yang berhembus, tetapi aku bisa merasakan hembusan napasku yang dingin hingga membentuk uap.
Padahal aku ingat sebelumnya aku berada di trotoar persimpangan, menunggu lampu pejalan kaki menyala hijau. Sampai akhirnya ada sesuatu yang mendorongku dari belakang ke jalan raya. Hal yang aku ingat adalah silauan lampu mobil yang melintas.
Namun, ketika aku terbangun, aku mendapati diriku terbaring ditengah hutan bersalju di malam hari.
Aku melihat pakaianku masih memakai setelan kemeja dan rok panjang serta coat cokelat. Aku mendongak, melihat butiran salju mulai turun dan salah satunya mengenai hidungku. Sentuhan dingin dari salju menyebar keseluruh wajah hingga tubuhku bergidik ngeri.
Orang-orang bilang salju itu indah, tapi saat ini, hidupku sedang dipertaruhkan ditengah badai salju ini.
Kakiku melangkah ... tidak, lebih tepatnya, aku 'menyeret' kakiku untuk berjalan. Aku tidak punya tenaga lebih untuk benar-benar mengambil satu langkah. Rasanya seperti kakiku terikat oleh beban, padahal aku hanya berjalan melewati tumpukan salju.
Seperti berada dalam film monokrom, aku tidak bisa menebak arah jalan tanpa penerangan apapun. 'Tersesat' adalah kata yang lebih indah daripada situasiku saat ini.
Hawa dingin membuat tubuhku bergidik kedinginan berkali-kali. Aku berjalan sambil mengembuskan napas pada telapak tangan, lalu menggesek kedua telapak tangan demi secercah kehangatan. Semakin lama aku berjalan, semakin lama tubuhku mulai terbiasa dengan udara dingin. Atau lebih tepatnya, tubuhku mulai melupakan rasa dingin malam ini.
Aku tidak mendengar suara apapun, yang justru membuat semakin takut. Aku berusaha berteriak mencari bantuan, tetapi udara dingin membuat tenggorokanku sakit hingga aku tak bisa lagi berteriak. Dari semua teriakan itu, aku tidak mendengar ada sahutan dari panggilanku.
Bruuuk!
Aku tersandung kakiku sendiri dan jatuh telungkup diatas bantalan salju. Tubuhku tidak terasa sakit, tetapi aku tidak bisa bergerak sama sekali.
Alih-alih berusaha bangkit lagi, aku membalikkan tubuhku dan berbaring diatas salju. Jika ini memang akhir dari ceritaku, aku ingin mencoba menikmati hujan salju yang sering dibicarakan oleh orang-orang.
Aaah, ternyata hujan salju itu memang pemandangan yang cantik. Sayang sekali aku tidak bisa menikmati pemandangan ini bersama seseorang.
Sampai sekarang pun, aku melihat pemandangan secantik ini seorang diri.
Aku tidak ingat berapa lama aku berbaring, tetapi aku merasa ngantuk dan mulai menutup mata.
Kurasa ini akhirku.
🌬❄️❄️
"Dimana aku?"
Sekarang aku melihat diriku berdiri dibawah langit biru. Aku masih memakai seragam kantor dan coat cokelatku dalam keadaan bersih, seakan hutan salju tadi tidak nyata sama sekali.
Matahari menyinari pemandangan menakjubkan disekelilingku. Aku melihat hamparan bunga iris tumbuh sejauh mata memandang. Aku menoleh ke kanan-kiri, mencari apakah ada seseorang didekatku.
Sampai akhirnya aku melihat siluet seorang pria.
"Oiiiii."
Aku berteriak sekuat mungkin, kali ini suaraku terdengar jelas dan nyaring. Jauh berbeda dengan ketika aku berada di hutan salju sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil of Words
Fantasy"Lidah lebih tajam dari pedang." Risa sering mendengar kalimat itu di kehidupan sehari-hari. Sebuah pepatah lama yang dibicarakan dari mulut ke mulut. Kadang digunakan sebagai nasihat orang tua kepada anaknya, kadang digunakan pula sebagai contoh pe...