Happy reading, readers!
🌬❄️❄️
Kami mengambil kembali barang belanjaan dan melanjutkan perjalanan pulang yang tertunda. Ekspresi Lucas datar untuk seseorang yang habis bertarung dan bertemu seorang bangsawan.
Aku ingin membujuk Lucas untuk memikirkan kembali tawaran itu, tapi aku ragu untuk mengatakannya.
"Berhenti menatapku dengan serius seperti itu," ujar Lucas. Akhirnya dia menoleh padaku, ekspresinya sedikit lembut padaku, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya tetap kasar. "Apapun yang mau kau tanyakan, jawabanku adalah tidak."
"Aku tidak memintamu langsung untuk menerimanya. Lagipula, beberapa dari mereka terdengar seperti bukan orang baik. Tapi aku ingin kau memikirkan lagi tawaran itu lagi. Kau bisa cerita padaku kenapa kau ragu untuk menerimanya, Lucas."
"Aku tidak ragu. Aku memang ingin menolaknya."
"Tapi, dari yang aku lihat, kau terlihat puas dengan pertarungan tadi."
Lucas berhenti melangkah begitu mendengar ucapanku. Aku meliriknya sambil menunggu respon Lucas.
"... aku memang akhirnya bisa menggunakan pedangku lagi," katanya. Lalu dia kembali berjalan sambil berkata, "tapi aku melakukannya karena kau hampir diserang, Risa."
Aku segera menyusul langkah Lucas, takut tertinggal. Aku pun bertanya lagi pada Lucas, "apa hanya itu alasannya?"
"Hanya itu," jawab Lucas singkat.
"Hmm, apa aku harus dalam bahaya lain sampai kau menjadi prajurit?" Gumamku pelan.
"RISA!" Diluar dugaan, Lucas marah membentakku. Aku sempat tertegun karena suara Lucas tiba-tiba meninggi. Dia pun menyadari sikapnya, kemudian kembali berbicara dengan suara pelan karena tidak mau membuatku takut. "Sekali lagi kau berpikir begitu, aku tidak akan mau mengajakmu ke alun-alun lagi."
Aku pun mulai protes. "Aku hanya bilang saja. Lagipula, siapa yang mau terlibat masalah?"
Lalu Lucas menatap tajam kearahku. Disaat yang bersamaan, aku mengingat kembali sikapku tadi yang tiba-tiba menghadang para bandit itu. Tatapan Lucas seakan menyiratkan ucapannya untukku: lalu yang kulihat tadi apa?
Aku pun tertawa pelan setelah melihat reaksi Lucas. "Iya, iyaaa. Aku akan menghindari masalah sebisa mungkin." Kataku.
Kami bisa melihat bar tidak jauh dari kami. Namun, kami justru mendapatkan kejutan lainnya yang telah menunggu kami di bar.
Seorang pria berjubah tengah berdiri sambil bersandar disamping pintu depan bar yang terkunci.
Pria itu menurunkan tudungnya begitu melihat kedatangan kami. Aku bisa melihat rambut merah panjang khas miliknya diikat ke pundak kanan. Ketika dia mendongak, tatapanku bertemu dengan tatapan dari iris mata birunya. Namun, baik dari ekspresi dan tatapannya tidak menunjukkan keramahan sama sekali.
"Lama tidak bertemu," ujar pria itu.
"Heh, kenapa aku tidak kaget melihatmu ada disini, Arlec?"
"Karena memang sudah waktunya aku pulang," jawab Arlec sambil melirik kearahku. Aku cepat-cepat membuang muka dari Arlec.
Dia masih memikirkan taruhan itu! Batinku kesal.
"Oh? Kupikir ibukota sudah jadi rumahmu," ujar Lucas terus berdiri disamping Arlec untuk membuka pintu depan bar.
Arlec tiba-tiba membelalak dan menarik pedang dari pinggang Lucas. Lucas pun terkejut hingga dia menjatuhkan beberapa kantong belanja.
"Apa yang kau lakukan, Arlec?" Lucas merasa terganggu.
Aku pun mendekati mereka untuk menghentikan Arlec. Arlec memeriksa pedang Lucas dan menyadari ada jejak darah di pedangnya.
Dia menoleh kearah Lucas dengan tatapan tajamnya, "Apa kau habis bertarung?"
"Itu bukan urusanmu." Lucas menarik kembali pedangnya dan memasukkan kedalam sabuk pedang.
"Jadi, kau masih bisa memakai pedangmu?!" Suara Arlec sedikit meninggi.
"Aku hanya melindungi adikku." Lucas mengeluarkan kunci dan membuka pintu depan bar. Dia lalu menoleh padaku, "Risa, bawa masuk barang belanjaannya."
"O, oke, Lucas." Kataku tersadar dari lamunanku. Aku sendiri masih kaget mendengar Arlec bisa marah. Tapi aku juga tidak heran karena tatapan Arlec selalu terlihat tajam dan kaku.
Aku bisa mendengar obrolan mereka sampai aku masuk kedalam bar. Lalu aku keluar lagi untuk membawa masuk barang belanjaan yang dibawa Lucas agar Lucas bisa mengobrol dengan Arlec.
"Ck, kenapa kau masih menggunakan pedang untuk orang seperti dia?" Nada bicara Arlec terdengar tidak senang.
"Karena dia adalah keluargaku. Seperti kau mengabdi pedangmu untuk keluarga kerajaan, aku akan selalu disini untuk melindungi Risa." Lucas memberikan jawaban yang selalu sama.
"Ck, tapi kau bahkan tidak bisa menyembunyikan ekspresi puas itu," ucap Arlec.
"Apa maksudmu?"
"Kita berdua sudah lama berlatih bersama. Dan aku tahu kau memiliki ekspresi ini setiap kali kau memakai pedang."
"Itu hanya khayalanmu saja, Arlec."
"Mengaku sajalah, Lucas. Kau yang paling tahu kau ingin menjadi prajurit, tapi keluarga selalu menjadi alasanmu menutupi kekuranganmu sendiri."
Duak! Bruuk!
Aku mendengar suara sesuatu dipukul dan jatuh ke tanah. Aku segera keluar untuk memeriksa apa yang terjadi. Aku siap memarahi Arlec jika dia berbuat macam-macam pada kakakku, tapi aku justru melihat Arlec terjatuh di tanah dengan ujung bibir kanan berdarah.
"Kau ... hanya tidak pernah merasakannya, Arlec." Lucas mengepal tangannya dengan geram. "Kau dibesarkan oleh paman Reo yang hanya tahu cara bertarung tanpa paham cara memberi kasih sayang ke anak kecil. Kau adalah orang yang tumbuh tanpa kasih sayang."
Arlec terpancing emosi hingga dia langsung bangun dan membalas tinju Lucas.
Detik berikutnya, mereka sudah baku hantam didepan bar.
"Hentikan, kalian berdua!" Aku mendekati salah satu dari mereka agar berhenti saling memukul. Ketika aku sadar, aku memeluk Arlec dari belakang dan menariknya mundur dari Lucas. Arlec yang tidak senang dengan sentuhanku melirikku sinis.
"Kau mau apa, hah?" Tanyanya dingin.
Aku refleks melepas pelukanku. "Hen, hentikan ini. Aku, aku takut." Kataku jujur. Aku benar-benar takut dan terintimidasi dengan tatapan Arlec.
Lucas yang melihatku berdiri di sisi Arlec segera menarik tanganku agar masuk kedalam bar dan berdiri dibalik Lucas.
"Kau tidak menemukan seseorang yang bisa kau lindungi sebagai keluarga, Arlec. Itu sebabnya kau selalu menentangku dengan prinsipmu."
"Ck. Aku tidak butuh seseorang seperti itu. Aku hanya mengandalkan diriku sendiri," katanya sambil berdecih. Arlec melirik kearahku, lalu berdecih sekali lagi karena tidak tertarik.
"Aku menunggu hari dimana kau menyesali sikapmu ini, Arlec."
"Heh, aku hanya membuang-buang waktuku saja. Justru kau yang akan menyesal dengan pilihanmu sendiri, Lucas."
Lalu Arlec pergi meninggalkan bar dengan suasana tegang.
🌬❄️❄️
Lucas dan Arlec selalu terlihat tidak akur setiap kali bertemu. Risa mau tidak mau harus melakukan sesuatu.
Ditunggu kelanjutannya, yaa 😉
Salam hangat, Ann Mone ⚘️
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil of Words
Fantasía"Lidah lebih tajam dari pedang." Risa sering mendengar kalimat itu di kehidupan sehari-hari. Sebuah pepatah lama yang dibicarakan dari mulut ke mulut. Kadang digunakan sebagai nasihat orang tua kepada anaknya, kadang digunakan pula sebagai contoh pe...