Aku mengerjapkan mata perlahan diikuti silau cahaya mengaburkan pandanganku. Butuh beberapa saat bagiku untuk bisa melihat sekeliling.
Aku menemukan diriku didalam ruangan berdinding kayu, terbaring diatas matras dengan selimut diatas tubuhku. Cahaya jendela yang masuk melalui jendela menjadi satu-satunya asal penerangan di kamar ini, dan hanya menyinari lantai disamping tempatku berbaring. Aku menyentuh lantai kayu yang terkena sinar. Lantai hangat membuatku sadar bahwa aku memang masih hidup.
Dimana ini?
Akhirnya aku bisa menanyakan pertanyaan ini.
Aku masih memakai kemeja dan rok, tetapi coat cokelat milikku sudah terlipat rapi disamping matras. Lalu, aku menyadari ada nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih. Aku juga melihat ada secarik kertas diatas nampan.
Aku meraih kertas itu dan melihat tulisannya. Namun, aku tidak memahami arti tulisan itu. Bahkan, ini pertama kalinya aku melihat bahasa seperti ini.
"Haaah, kemarin hutan bersalju dan hari ini ada bahasa asing yang tidak kupahami."
Aku bangun dari matras dan melihat keluar jendela.
Ada beberapa anak berlarian diluar. Mereka membuat bola salju lalu saling melempar satu sama lain. Aku melihat telinga merah mereka dan hembusan napas hangat setiap kali mereka berlari. Namun, tidak satupun dari anak-anak tersebut kehilangan senyum dari wajah mereka. Lilitan syal tebal di leher mereka terlihat mengendur hingga leher mereka mulai ikut memerah, tapi mereka masih bermain dan mengabaikan itu semua. Aku baru bisa mendengar samar-samar suara mereka ketika aku berdiri didepan jeruji jendela. Teriakan diiringi tawa menyiratkan kesenangan anak-anak itu, terlepas dari dinginnya udara dan salju di tangan mereka.
Lalu aku mendengar langkah kaki diikuti decitan kayu dari luar kamar. Pintu kamar dibuka dari luar, meninggalkan suara decitan kayu lainnya.
Aku berbalik dan menatap pria yang membuka pintu kamar.
Dia berambut hitam ikal dan bermata ungu, memakai sweater dan celana hitam serta celemek hijau tua. Aku bisa melihat noda kuning di beberapa titik di celemeknya.
"Kau sudah bangun?"
Mataku membelalak mendengar pertanyaan pria itu. Aku kaget karena aku bisa memahami bahasa pria itu meskipun terdengar asing di telingaku.
Aku tidak yakin jika aku harus menjawabnya dengan bahasa yang kuketahui, jadi aku hanya mengangguk.
Pria itu melirik nampan disamping matras, masih utuh sebab memang belum kuhabiskan.
"Apa kau tidak suka bubur? Atau masih ada yang sakit?"
"Oh, apa itu untukku?" Aku refleks bertanya. Pria itu langsung menoleh kearahku dan memberikan tatapan bingung. Aku menyadari perbuatanku dan langsung menutup mulut dengan tanganku. Aku tidak mengatakan hal yang salah, tapi aku menjadi merasa bersalah karena bertanya dengan bahasa yang berbeda darinya.
Dia masuk dan mengutip kertas diatas matras yang kutinggalkan tadi. Lalu dia berbicara padaku, "aku pikir kau sudah membaca catatanku, tapi sepertinya kau memang tidak suka bubur."
"Bukan begitu!" Seruku dengan suara meninggi. Pria itu terperanjat kaget lalu menoleh padaku. Aku justru merasa semakin gugup ketika mata kami bertemu. "A, a, aku terbangun mendengar suara anak-anak diluar."
"Apa mereka mengganggumu? Aku bisa meminta mereka bermain di tempat lain."
"Oh, tidak! Jangan!" Sanggahku cepat. "Mereka terlihat senang. Biarkan saja."
"Haaa. Kenapa kau sangat mirip dengannya?" Aku mendengar pria itu menggumam pelan. Aku tidak tahu apakah dia sengaja atau tidak ketika berbicara seperti itu didepanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil of Words
Fantasy"Lidah lebih tajam dari pedang." Risa sering mendengar kalimat itu di kehidupan sehari-hari. Sebuah pepatah lama yang dibicarakan dari mulut ke mulut. Kadang digunakan sebagai nasihat orang tua kepada anaknya, kadang digunakan pula sebagai contoh pe...