Selamat membaca~
🌬❄️❄️
Pertemuan dengan wanita misterius itu sudah cukup membuatku banyak berpikir, tentang asal usulnya dan maksud dari kata-kata terakhir wanita itu.
Namun, hal yang lebih mengejutkan lagi terjadi setelahnya.
Lucas dan aku mendatangi kuil untuk menemui penjaga kuil disini. Kami berhasil bertemu dengan orang itu, tapi penjaga kuil Airisha justru bertindak aneh.
Seluruh tubuhnya gemetar hebat sambil berjalan kearah kami. Tatapannya sangat panik hingga dia bahkan tidak bisa berbicara dengan benar.
"Akhirnya ... si ... te ... lah ... datang ... bencana ..."
Aku bersembunyi dibalik Lucas karena sedikit takut melihat pria itu. Meskipun wajahnya juga tertutupi kain seperti wanita tadi, aku merasa kata-katanya aneh dan membuatku tidak nyaman.
"Hmm, apa maksud Anda dengan bencana yang akan datang?"
Pria itu mengabaikan pertanyaan Lucas. Dia justru mendekati kami dan hendak menyentuhku yang berdiri dibelakang Lucas. "Tuan, sadarlah!" Seru Lucas sambil menarikku menjauh dari pria penjaga kuil.
Pria itu berhenti gemetaran setelah mendengar suara Lucas. Kepalanya bergerak ke atas-bawah, kemudian dia kembali berdiri tegap seolah tidak terjadi apa-apa.
"Maafkan sikap tidak sopan dariku. Aku berharap kalian akan menerima permintaan maafku seperti pengampunan dari Dewi Airisha." Ucap pria itu sambil membungkuk 45°.
"Hmm, oke? Kurasa kami memaafkanmu." Jawabku sambil melirik Lucas, tidak yakin dengan jawaban ini. Lucas sama sekali tidak membantu karena dia hanya menggelengkan kepala seakan tidak mau ikut campur.
"Apa yang bisa aku bantu untuk sepasang remaja yang setia pada Dewi Airisha?" Tanya penjaga kuil ramah, tapi perubahan drastis sikapnya justru semakin membuatku takut.
"Kami ingin melakukan memorial Dewi Airisha." Lalu Lucas merangkul pundakku. "Sebentar lagi adalah ulang tahun adikku."
"Ah, nona muda. Pasti kamu selalu menikmati hari spesial itu setiap tahunnya."
"I, i, iyaa, aku selalu merayakannya dengan kakakku." Jawabku mengikuti sandiwara Lucas.
"Ikutlah denganku, taman patung Dewi Airisha ada disamping kuil, tapi kalian harus melewati lorong aula untuk sampai kesana."
Penjaga kuil membimbing jalan ke tempat yang dimaksud. Kami melewati lorong kuil sampai akhirnya tiba di ruang kaca berisikan taman bunga, seperti sebuah taman indoor di dunia asalku. Atau begitulah aku menyebutnya.
Taman kuil dipenuhi oleh tanaman bunga iris lalu dibelah oleh jalan setapak lurus kearah pancuran air. Diujung jalan setapak terlihat patung tanpa wajah memeluk sebuket bunga iris dengan sepasang sayap menghadap bawah.
Penjaga kuil meninggalkan kami berdua di taman atas permintaan Lucas.
"Semoga kalian selalu dilindungi oleh Dewi Airisha." Ujar penjaga kuil.
Lucas dan aku mengikuti jalan setapak yang ada sampai kami tiba didepan pancuran batu. Air mengalir dari puncak pancuran sedikit membiaskan cahaya matahari yang masuk lewat kaca.
"Bunga di taman ini selalu segar karena ada kekuatan Dewi Airisha yang menjaga taman ini ... atau itulah yang sering dikatakan oleh orang kuil." Ujar Lucas terdengar tidak yakin.
"Tapi sepertinya kau punya pendapat lain, Lucas." Ucapku blak-blakan.
"Ibuku seorang penyihir, jadi aku bisa merasakan mana sihir meskipun aku hanya bisa memakainya untuk pedang aura. Dan taman ini ... memiliki banyak mana, bisa dibilang sebagai sumber sihir." Ucap Lucas. Disaat yang bersamaan, dia menyalakan api biru dari telapak tangannya. Api itu memiliki warna yang sama ketika Lucas menggunakan pedang aura. Api itu menyala semakin membesar hingga Lucas segera mengepal tangannya untuk menghilangkan api itu.
Lucas menoleh kearahku, "bagaimana, Risa? Apa kau merasakan sesuatu?"
Aku tidak yakin jika Lucas memintaku untuk merasakan hal yang istimewa. Memang, tempat ini terlihat luar biasa. Namun, aku harus mengecewakan Lucas.
Aku menggelengkan kepala, "tidak ada apa-apa."
"Hmm, apa kita datang di waktu yang salah?" Lucas terlihat bingung.
"Mungkin itu memang berarti aku hanyalah orang biasa." Jawabku.
Aku mendekati air pancuran. Melihat jernihnya air membuatnya ingin memasukkan tanganku kedalam pancuran.
Tiba-tiba tanganku diselimuti cahaya putih menyilaukan. Cahaya itu sangat silau hingga aku menarik tanganku dari pancuran dan melangkah mundur dengan terhuyung-huyung.
"Risa!" Lucas menangkapku tepat sebelum aku terjatuh ke tanah. Aku bisa mendengar suara Lucas setelahnya, meskipun aku tidak tahu apa yang dia katakan. Kepalaku terlalu pusing hingga aku tanpa sadar memegang kepalaku kesakitan.
Satu persatu gambaran memori terlintas di kepalaku, tapi bukan deja vu pada umumnya. Ingatan yang kulihat seperti berasal dari seorang anak, seperti kapan pertama kali dia digendong orangtuanya, bermain dengan kakak laki-laki, ditarik oleh orang tidak dikenal, disiksa dan dikurung hingga akhirnya muncul cahaya putih menyilaukan.
"Risa, ada denganmu? Risa!" Suara Lucas terdengar sangat panik ketika melihatku jatuh tumbang. Napasku masih memburu dengan detak jantung cepat seakan kelelahan. Kini aku bisa mendengar Lucas dengan jelas. Begitu juga dengan ingatan yang kulihat.
Atau lebih tepatnya, ingatan yang telah kembali.
"Eh, kenapa kau menangis?" Lucas semakin panik melihatku meneteskan air mata. Pandanganku kabur akibat air mata, tapi aku sudah bisa membayangkan ekspresi cemas Lucas.
Aku langsung memeluk Lucas untuk menenangkannya dan diriku sendiri.
"Apa kau baik-baik saja?"
Alih-alih menjawab, aku hanya memeluk Lucas lebih erat.
Lucas tidak berkata apapun lagi. Dia hanya diam sambil menungguku menangis.
Sedangkan aku masih menangis setelah kembali melihat ingatan sialan ini di kepalaku.
Maafkan aku, Lucas. Maaf karena aku sudah meninggalkanmu. Batinku sedih. Aku ingin mengatakannya langsung, tapi mulutku tidak sanggup menyampaikannya.
Aku sudah ingat semuanya, termasuk ingatanku ketika masih menjadi Sofia Kenneth.
🌬❄️❄️
Risa mendapatkan kembali ingatanya, dimana dia dikejutkan oleh sebuah fakta: Sofia dan dirinya adalah orang yang sama.
Apakah Risa sudah dapat menerima kenyataannya?
Ditunggu kelanjutannya, yaa 🤗
Salam hangat, Ann Mone⚘️
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil of Words
Fantasy"Lidah lebih tajam dari pedang." Risa sering mendengar kalimat itu di kehidupan sehari-hari. Sebuah pepatah lama yang dibicarakan dari mulut ke mulut. Kadang digunakan sebagai nasihat orang tua kepada anaknya, kadang digunakan pula sebagai contoh pe...