4

416 64 2
                                    

Tristan mengetuk dahi gadis itu dengan gemas. "Masih bilang sedikit? Kau sudah seperti tungku pembakaran. Tubuhmu panas."

Gadis itu memeluk dirinya. Tidak percaya. "Benarkah?"

"Katakan sekarang, seberapa kau minum?"

Gadis itu mengerutkan wajahnya. Dia butuh menggali ingatannya dan kemudian menemukan buktinya. Dia menunjuk ke depan, tepat di sisi kolam. Botol yang dia bawa ada di sana. "Sedikit, kan?"

"Kau minum sebotol itu?"

Gadis itu mengangguk dengan senyuman menerawang. "Tequila sangat enak."

Tristan berdecak dan segera meraih pergelangan gadis itu. "Ikut denganku."

Gadis itu menolak. Dia menggeleng. Saat Tristan menariknya, dia malah menangis seperti anak kecil yang dipaksa melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. Bahkan gadis itu menggapai ke arah Colby meminta bantuan.

Tapi Colby masih menyayangi nyawanya. Mana mungkin dia membantu, dia malah berpura-pura memandang ke arah lain. Seolah tidak menyaksikan adegan tarikan paksa di depannya itu.

Dibawa ke lantai atas Florin segera memandang sekitar. Airmatanya sudah lama kering sejak Tristan membawanya masuk ke rumah. Dia malah sibuk memandangi rumah itu dengan aneh.

"Ini bukan rumahku," ucap gadis itu kemudian.

Tristan yang mendengarnya mendengus. "Kau sengaja datang ke sini dan akan mengatakan kalau kau salah masuk rumah?" tebak Tristan.

"Bagaimana kau tahu aku akan mengatakan itu?"

Tristan yang mendengarnya memberikan pandangan menusuk yang membuat gadis itu menipiskan bibirnya. Dia kemudian menarik lagi tangannya. "Aku mau pulang."

"Pulang? Ke mana?"

"Rumah Flo. Flo mau pulang pokoknya."

"Kau sedang coba bersikap menggemaskan sekarang? Menyebut namamu segala. Tunggu, namamu Flo?"

"Flo?"

"Kau menyebut dirimu Flo tadi. Kau sedang bercanda denganku?"

"Florin. Aku Florin." Florin mengulurkan tangannya, dengan suara yang centil dan jelas ingin membuat pria di depannya tergoda padanya. Meski hanya sedikit, Florin ingin mencobanya. Dia sudah cukup mendapatkan penolakan dari banyak orang. Bahkan yang mendekatinya hanya menginginkan sesuatu darinya.

Pria itu melengos dan tidak menjabatnya. Dia malah berjalan meninggalkan Florin yang membuat gadis itu kebingungan. Tapi segra Florin mengejarnya. Berdiri di depan pria itu yang sudah akan melangkah masuk ke pintu yang setengah terbuka.

Kedua tangan Florin menghadangnya. "Kenapa kau tidak mau menyentuhku?" tanya Florin. Dengan wajah yang tampak jelas sakit hati atas perlakuan Tristan.

"Apa katamu?"

Florin memperlihatkan tangannya. Menunjukkan bagaimana tangan lembut itu tertolak beberapa saat tadi. "Aku mengulurkan tangan dan kau tidak mau menjabatnya. Kenapa kau tidak mau menyentuhku?" ulang gadis itu pada pertanyaannya.

"Pertanyaanmu sangat ambigu, Florin. Kau tahu itu, kan?"

"Ambigu?"

"Sudahlah, aku akan membawamu ke kamar mandi dan kau membersihkan tubuhmu. Setelahnya mari bicara siapa yang mengirimmu ke sini." Tristan sudah masuk ke kamar dan mengambil handuk dari lemari besarnya. Melemparkan benda itu ke wajah Florin yang diam mematung di ambang pintu. Seolah sedang meyakinkan dirinya kalau dia berada di tempat yang tidak seharusnya.

Florin mengerjap, menggeleng. Berusaha mengambil kembali otaknya yang sepertinya berceceran di kepalanya. Dia terus merasa tempat ini bukan rumahnya. Tapi dia masuk ke rumahnya. Dia tidak salah. Ada apa dengannya sebenarnya?

"Apa yang kau pikirkan, ayo masuk," perintah Tristan jengah.

Florin mendekat, berdiri di depan Tristan.

"Bukan di sini, di sana. Di kamar mandi. Bersihkan dirimu."

"Ini bukan rumahku," ungkap gadis itu lagi.

Tristan mendesah, dia memijit tulang hidungnya. Dia sudah cukup sabar dengan gadis cantik itu, tapi gadis itu terus menguji kesabarannya sampai di batas yang tidak dapat dibiarkan oleh Tristan. "Tentu saja ini bukan rumahmu. Ini rumahku."

"Rumahmu?"

Tristan mengangguk. "Jadi sekarang, kau harus—"

"Kenapa aku ada di rumahmu?" tanya Florin memotong ucapan Tristan dengan kebingungan. Dia menggaruk kepalanya. Rambutnya yang basah tampak agak kusut tapi bukannya membuat dia tampak buruk, rambut basah itu menunjukkan kesucian seorang gadis. Siapa yang menatapnya hanya akan menemukan kalau dia sosok yang baik, yang bahkan akan mengulurkan tangan pada orang asing untuk sebuah bantuan.

Begitulah hal pertama yang akan dilihat orang lain padanya.

"Bukankah harusnya aku yang bertanya? Kenapa kau ada di rumahku?"

"Aku tidak pergi ke rumahmu. Aku pergi ke rumahku. Ini rumahku. Tapi sepertinya ini bukan rumahku."

Tristan menunduk, membawa wajah mereka sejajar dengan wajah tampan yang dipenuhi dengan kejengkelan. Dia bahkan mendesah di depan gadis yang kembali kebingungan itu. "Kau sedang mabuk sekarang, bicara denganmu membuat aku sakit kepala. Jadi sebaiknya bersihkan dirimu dan aku akan membuatkanmu susu hangat. Itu akan membuatmu lebih baik."

"Aku tidak suka susu."

"Teh?"

"Tidak. Air putih saja."

"Baik. Air putih, sekarang kau mau masuk ke dalam kamar mandi dan membasuh dirimu?"

"Aku ingin melakukan sesuatu," ungkap gadis itu. Matanya dan Tristan bertemu. Warna abu dengan warna hitam itu menjadi perpaduan yang begitu menarik. Seolah dua warna itu menjadi warna yang begitu indah untuk dikombinasikan.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Tristan. Terkejut karena dia masih memiliki kesabaran untuk menghadapi gadis linglung di depannya.

Biasanya menghadapi karyawannya yang tidak mengerti ucapannya saja, Tristan sudah langsung memecat.

***

Pdf : 60k

Sleep With Bastard (KAM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang