Florin keluar dari kamar mandi. Dia menatap Tristan yang sedang duduk santai di sofa menyilang kakinya. Pria itu memegang tabletnya dan tidak menatap Florin meski jelas dia tahu kalau Florin berdiri di depannya.
Dan Florin tidak mengatakan apa pun. Dia masih berdiri diam di sana dengan pandangan menuduh. Bersikeras tidak akan memulai obrolan sebelum pria itu sendiri yang menatap padanya. Pada apa yang diperbuatnya pada penampilan gadis itu yang jelas dipenuhi dengan cacat cela.
Lama-lama Tristan akhirnya menatap pada gadis itu. Dress yang dikenakan Florin sesuai dengan yang dia dugakan. Menggoda dan dalam detik yang begitu cepat, Tristan merasakan kering pada tenggorokannya.
Dress merah itu melekat sempurna di tubuh Florin. Dengan dua tali bahu yang sangat tipis, yang bahkan harus kau lihat dengan jelas baru kau akan menyadari tali itu ada. Ada sobek pada dress yang sampai ke tengah pahanya. Masalahnya bukan pada betapa seksinya dress merah itu, melainkan karena dibalik dress seksi nan tipis itu, Florin tidak mengenakan apa pun. Payudaranya tercekat dengan rekat bahkan putingnya menyembul seolah ingin menusuk dress dan merobeknya. Itu membuat dia malu. Oh, dia memang harusnya malu sekarang untuk menunjukkan diri di depan Tristan. Tapi kemarahannya membuat rasa malu itu menguap. Dia lebih marah ketimbang malu.
Andai saja dia bisa menyuruh pria itu saja yang mengenakannya.
"Cocok untukmu." Tristan berdiri. Mengabaikan rasa gerah pada tubuhnya sendiri. Dia tadinya membuat Colby membeli dress seperti itu agar Florin tidak memiliki pilihan selain ikut dengannya belanja baju. Tidak dia sangka, itu malah akan menjadi bumerang untuknya.
"Cocok? Apa kau buta?"
Kemarahan dan rasa frustasi gadis itu, Tristan menyukainya. Dia menahan senyumannya. Tidak mau Florin semakin mengeluarkan tanduknya. "Kau terlihat bagus. Tidak buruk sama sekali. Kalau kau memang memiliki krisis kepercayaan diri, maka aku tidak dapat mengatakan apa pun. Karena bagiku, itu bagus."
"Oh, persetan dengan krisis kepercayaan diri."
Tristan yang meninggalkannya ke arah lemari membuar Florin semakin kesal. Dia mengejarnya.
"Ini bukan tentang kepercayaan diri. Ini seperti telanjang hanya dan berusaha mengatakan pada orang lain kalau aku tidak telanjang. Mana mungkin aku akan memiliki kepercayaan diri memperlihatlkan lekuk tubuh seperti ini, Tan."
Suara Florin tenggelam saat Tristan melemparkan sebuah hoddie ke wajahnya. Florin menarik kain itu dan menatapnya. Dia menatap seksama untuk tahu apa maksud pria itu.
"Kau tidak akan memperlihatkan lekuk tubuhmu pada orang lain. Kau tenang saja. Pakai itu dan semuanya beres. Ayo, ini hampir siang dan kau bahkan belum sarapan." Tristan sudah bergerak meninggalkannya.
Buru-buru Florin mengejarnya dengan tangan sibuk memasukkan kepalanya ke hoddie. Dia memakainya dengan cepat dan mulai merapikan penampilannya. Rambutnya yang agak terang membuat dia kadang tidak memiliki kepercayaan diri. Tapi saat dia besama Tristan, dia tidak lagi memikirkan hal seperti itu. Dia sibuk dibuat marah dan kesal oleh pria itu. Jadi tidak ada pikiran ke arah sana.
Tapi memikirkannya lagi, itu menjadi sesuatu yang cukup menyenangkan. Karena pria itu juga tampaknya tidak terganggu dengan penampilannya sama sekali. Tristan tidak pernah memandang cukup lama ke arah rambutnya. Malah mungkin pria itu lebih sibuk menatap dadanya.
Membayangkan pria itu menatap ke dadanya, Florin pikir dia akan kesal tapi ada rasa kebanggan tersendiri di diri Florin. Apalagi dia selama ini selalu merasa kalau tidak akan ada yang melirik padanya. Perasaan semacam itu mendatangkan rasa frustasi yang cukup besar. Dan Tristan membuat segalanya lebih baik sekarang.
Tapi Florin tentu saja tidak akan mengatakannya. Pria itu bisa berpikir yang tidak-tidak nantinya.
Saat Tristan melewati semua ruangan dan bergerak ke arah pintu, Florin benar-benar berlari mengejarnya. "Bukankah katamu kita akan sarapan di rumah ini?"
"Aku mengatakannya?"
Florin menatap tidak yakin. Apa pria itu mengatakannya?
"Aku memesan restoran di dekat toko yang akan kita datangi." Tristan melangkah lagi dan Florin akhinya hanya mengikutinya. Saat ini tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengikuti Tristan. Karena dia sendiri tidak tahu di mana dia berada.
Tidak ada ponsel untuk menelepon. Bahkan tidak ada yang bisa dia hubungi. Dia benar-benar bisa merasakan sekarang bagaimana dia sendirian.
Tiba-tiba dengan tahu adanya Tristan, Florin merasa lebih baik. Dulu dia selalu berpikir kalau Travis akan selalu di sisinya. Sebagai seseorang yang bisa membuat perbedaan dalam hidupnya. Tapi Travis ternyata sama saja dengan mereka. Membawa Florin pada bahagia di awalnya dan akhirnya hanya membuatnya menjadi bahan lelucon semata.
"Masuk, kau hanya akan diam di sana?" tanya Tristan yang menatap gadis itu yang sedang sibuk memandang halamanya.
"Pagar itu dialiri listrik?" tanya Florin yang menyadari beberapa pagar seperti memiliki aliran listrik yang menakutkan.
"Benar."
"Lalu kemarin aku ... bukankah aku harusnya tidak baik-baik saja? Mengingat aku memanjat pagar yang ada di luar, yang terhubung dengan pagar di dalamnya."
"Kau beruntung. Ada yang sedang menyabotase CCTV dan pagar listrikku. Itu makanya kau tidak hangus terpanggang. Kau harus berterima kasih pada musuhku."
Florin mengelus dadanya. "Jika aku bertemu dengannya, aku tentu saja akan mengatakan terima kasih."
Wajah Tristan berubah menjadi jelek. Dia memberikan pandangan tajam pada gadis itu, dan tuduhan yang berasal dari keraguannya segera muncul.
Florin yang sadar dipandangi segera balas memandang. Jelas tahu pria itu tidak senang dengan apa yang dia katakan. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau sendiri yang mengatakan aku harus berterima kasih pada musuh. Saat aku yang mengatakannya, kau tidak senang?"
"Musuhku, apa kau berhubungan dengannya?"
"Apa? Memang siapa musuhmu sampai aku berhubungan dengannya?"
Tristan diam. Masih mengamati.
"Tunggu, kau berpikir aku kaki tangan musuhmu?"
***
Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di akuSampai jumpa mingdep 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleep With Bastard (KAM)
RomanceLima tahun memperjuangkan pria yang begitu dikaguminya, Florin Sampson harus menerima kenyataan bahwa pria itu lebih memilih kakaknya sebagai istri. Dirinya yang hanya anak adopsi tidak memiliki cara untuk protes pada keadaan yang membawa sesak di d...