Beberapa kali pun dia mencobanya, dia tidak bisa melakukannya. Itu membuat dia menjatuhkan diri dan duduk dengan membuat kepalanya ada di antara lututnya. Sepertinya dia memiliki keadaan di mana waktu sedang tidak menyukainya. Itu membuat dia didorong dalam keadaan ini.
Rasanya begitu menyebalkan saat kau harus meminta bantuan pada seseorang yang tidak ingin kau mintai bantuan. Apalagi saat bantuan itu harus ditanggung denggan perasaan malu yang sangat luar biasa.
Suara ketukan terdengar dari luar, itu membuat Florin ingin menulikan diri. Mungkin menghadang pintu itu akan membuat keadaannya lebih baik. Tapi di ruang ganti hanya ada dirinya dan pakaian berserakan. Mau menghadang pakai apa?
"Apa kau pingsan di sana?" suara Tristan terdengar tenang. Dia sepertinya sudah mulai menyadari betapa lamanya Florin ada di ruang ganti itu saat gadis itu hanya akan memasang bra dan celana dalamnya.
Florin diam. Tidak menyahut meski ketukan kembali terdengar beberapa kali. Dia bahkan menahan napasnya sendiri. Harapannya Tristan akan mengatakan kalau Florin bisa mengambil waktunya sendiri. Selama yang diinginkan gadis itu.
"Jika kau tidak menjawab juga, aku akan mendobrak pintu ini. Hanya satu tendangan dan pintunya akan terbuka."
Florin harusnya tidak berharap semuluk itu. Mana mungkin pria itu akan memberikannya kedamaian. Apalagi dia bisa mendengar suara ancang-ancang Tristan yang memberikannya waktu untuk menimpalinya sebelum dia benar-benar menyesalinya.
"Aku di sini. Baik-baik saja, terima kasih," ucap Florin. Kalimat terakhir adalah sarkas.
"Apa yang terjadi? Kau akan bertelur di sana?"
Florin mendengus. Dia meraih dressnya dan membiarkan pakaian itu hanya sampai ke pinggangnya. Bagian depan dadanya ditutupi dengan hoddie. Perlahan dengan sangat tidak rela Florin membuka kunci pintu ruang ganti. Membuka perlahan pintunya dan hanya membiarkan kepalanya menyelinap keluar. Dia mendongak menatap pada Tristan yang harus menunduk menatapnya.
Gadis itu sudah pendek. Dengan membungkuk seperti itu, dia menjadi lebih pendek.
"Ada apa?" tanya Tristan bingung. Tidak merasa ada yang salah dengan gadis itu. Kecuali dia hanya mengeluarkan kepalanya untuk dilihat olehnya. "Pakaiannya tidak nyaman? Kau mau menggantinya? Akan kupilihkan untukmu."
"Tidak. Tidak perlu," cegah Florin.
Membayangkan memakai bra pilihan Tristan, sepertinya dia tidak terlalu bersemangat akan hal itu.
"Lalu kapan kau akan keluar? Apakah kau akan diam saja berdiri membungkuk di sana? Kita masih harus menemukan gaun untukmu."
"Bantu aku," cicit Florin.
"Apa?"
"Kau mendengarku!" gadis itu menaikkan satu oktaf suaranya.
Tristan mendesah di depan gadis itu, dia sungguh kehilangan kesabaran. "Kau bicara seperti tikus masuk perangkap. Siapa yang bisa mendengarmu."
Florin memejamkan mata. Dia ingin bunuh diri. "Bantu aku."
"Membantumu? Membantumu bagaimana?"
"Masuklah." Florin sudah menarik diri menjauh. Dia masuk ke ruangan dan menunggu Tristan bergabung dengannya. Cukup lama karena pria itu sepertinya memikirkan apa yang sedang terjadi. Saat Tristan masuk, aura dalam ruangan itu menjadi berbeda. dengan ruangan kecil yang harusnya hanya muat untuk satu orang dalam gerakan kecil, kini di isi mereka berdua dengan tubuh Tristan yang jelas mendominasi, Florin mulai memikirkan apakah yang dilakukannya adalah keputusan yang tepat? Bagaimana kalau lebih baik memang membiarkan Tristan memili bra lain untuknya?
"Bantuan apa yang kau mau?" tanya Tristan. Suara pria itu serak, entah apa yang ada di tenggorokannya.
Saat Florin menatapnya, pria itu memandang ke arah lain. Seolah dia tidak membuat mereka berdua dalam situasi yang canggung.
Florin menjatuhkan hoddie ke lantai. Membiarkan Tristan menatap punggungnya karena Florin berdiri di depan cermin sekarang. Pandangan Florin awalnya ke bawah. Satu tangannya hanya sibuk menyangga bagian depan bra untuk menutup area dadanya yang berdenyut tidak pasti.
Tapi karena beberapa saat menunggu dan dia tidak menemukan gerakan sama sekali, Florin yang penasaran akhirnya mengangkat pandangannya dan menatap pria itu lewat cermin. Mengejutkan saat mata abunya bertemu dengan mata hitam kelam milik Tristan. Mata yang seolah sanggup menggali jiwa itu sedang menatap Florin dengan pandangan yang begitu mengganggu birahinya.
Florin bahkan sampai merapatkan kakinya. Ada denyutan kuat di antara kakinya yang tidak dapat dia sembunyikan. Bahkan wajahnya juga mengatakan kalau dia sedang berada pada puncak panasnya hanya karena pandangan pria tersebut.
Apalagi Tristan yang sungguh terhipnotis dengan apa yang dia pandang. Dia menatap antara punggung dan bagian depan gadis itu. Melihat bagaimana dada itu naik turun dengan bagian atas payudaranya yang seolah mengintip meminta dia menyentuhnya. Godaan itu teramat besar untuk diabaikan, telalu kuat untuk ditolak.
Sampai Florin tentu saja memutuskan untuk menyadarkanya.
"Tan, bantu aku. Kait branya tidak bisa dipasang," ucap gadis itu. Mengabaikan fakta Tristan menatapnya seperti binatang kelaparan.
Tristan yang mendengarnya akhirnya menatap ke arah bagian kaitan bra yang sejak tadi tidak dia perhatian. Dia sibuk menatap punggung telanjang yang begtu mulus tersebut.
Beberapa saat dalam keheningan, Florin hampir menyerah dan berbalik. Mungkin dia bisa mengalungkan lengannya di leher Tristan dan mereka dapat melakukannya sebentar. Hanya sebentar. Tapi kemudian akal sehatnya mengambil kendali. Membawa Florin pada deheman halus.
Tristan juga mulai bergerak dan mengaitkan bra gadis itu. "Kau mengaitkannya di tempat yang salah ...."
Setelah Tristan selesai, Florin segera memasang dressnya dan mengambil hoddie lalu memakainya. Tidak berhenti sejenak pun saat dia melangkah keluar dengan tergesa-gesa.
***
Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di akuSampai jumpa mingdep 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleep With Bastard (KAM)
RomanceLima tahun memperjuangkan pria yang begitu dikaguminya, Florin Sampson harus menerima kenyataan bahwa pria itu lebih memilih kakaknya sebagai istri. Dirinya yang hanya anak adopsi tidak memiliki cara untuk protes pada keadaan yang membawa sesak di d...