21

246 56 2
                                    

Florin sampai berpikir kalau dia mengkhayalkan Tristan karena dia terlalu patah hati pada keputusan Travis menikahi Frieda. Tapi itu konyol, karena pakaian yang dibelikan Tristan untuknya jelas masih menggantung di lemarinya.

Memutuskan menyelesaikan kuliahnya dengan cepat, Florin tidak ingin terlambat pulang. Dia tidak mau melakukan kesalahan. Jadi dia berpikir untuk pulang siang saja. Dia sudah akan berjalan ke arah sepedanya yang diparkir di tempat pemarkiran sepeda tapi dia berhenti saat dia menemukan kalau sepeda itu bersebelahan dengan mobil mewah yang parkir di sana.

Bukan mobil itu yang membuat dia menghentikan langkah melainkan sosok yang berdiri di sisi mobil. Pria itu menyandarkan tubuhnya di mobil dan sedang tersenyum ke arah Florin dengan lambaian tangan sukacita.

Florin bergerak mendekat. "Colby," sapa gadis itu. Merasa bahagia meski dia sembunyikan. Karena jelas semuanya bukan mimpi. Colby berdiri di depannya dengan sangat nyata. Jadi sudah sangat bisa dibenarkan kalau pria itu juga nyata.

"Halo, Nona. Apa kabar?"

"Baik." Florin menatap ke kaca mobil. Dia tidak dapat menemukan apa pun dibalik kaca itu. Kacanya terlalu gelap. "Kau di sini sendiri?"

"Tidak. Saya bersama tuan muda. Dia di dalam mobil. Sedang melakukan panggilan untuk pertemuan mendadak."

"Oh."

"Anda terlihat banyak pikiran."

Florin menyentuh wajahnya dan menekan-nekannya. "Kau berlebihan. Ini karena kakakku mau menikah jadi aku membantu banyak," bohongnya.

"Begitu rupanya."

"Kalian datang untuk menemui seseorang di kampus?" Florin penasaran. "Aku bisa menunjukkan jalannya kalau kau menyebutkan nama. Aku hampir mengenal semua orang penting di kampusku."

Kaca mobil sudah turun. Melihat siapa yang ada dibalik kaca, napas Florin seperti berhenti sejenak. Pandangannya bertemu dengan mata hitam kelam tersebut. Ada aura yang begitu kuat yang dipancarkan sosok itu kepada Florin. Aura yang tidak dapat ditolaknya. Dan juga mungkin tidak dapat ditolak semua wanita yang bisa merasakannya.

"Tidak perlu," tolak Tristan. "Jika kau yang menunjukkannya, aku takut kami akan tersesat. Mengingat kau sendiri tersesat pulang ke rumah yang salah."

Florin mendengus. Sepertinya sehari saja tidak mengajaknya berdebat, pria di depannya ini akan sakit. Kedua tangan gadis itu berada di pinggangnya. Dia menatap pongah dengan dagu terangkat tinggi. "Itu karena mabuk. Karena tequila. Kau mengerti?"

"Lain kali ..." Tristan menggerakkan jari telunjuknya, memberikan tudingan. "Jangan pernah menyentuh minuman keras."

"Memangnya kau siapa melarangku? Ayahku?"

"Kau mau aku menjadi ayahmu? Maka panggil sekarang, Papa?"

Florin membuat gerakan ingin mual.

Tristan mengulum senyuman. Mood hidupnya sudah kembali. Kegersangan beberapa minggu ini sungguh membuat dia seperti merangkak dalam setiap jejak langkah yang dia lakukan. Sekarang segalanya benar-benar baik.

Bagaimana bisa hanya dalam satu malam, seseorang membuat seorang Tristan yang selalu memiliki seribu wajah di depan banyak orang harus tahluk dan bahkan membutuhkan seorang gadis kecil yang bahkan memiliki otak tidak normal? Sungguh disayangkan Tristan akhirnya jatuh berlutut. Tapi menyenangkan memiliki seseorang yang bisa kau pikirkan dan ingin kau temui.

Selama ini hidup Tristan hanya soal menang. Selama dia bisa memenangkannya maka dia akan melawan. Tapi sejak Florin muncul ke hidupnya, segalanya hanya soal bagaimana mengajak gadis itu berdebat dan menyukai bagaimana respon gadis itu saat kesal.

Bahkan umpatan-umpatan kasar gadis itu seperti musik pengantar tidur di telinganya. Perasaan gila seperti ini, Tristan menikmatinya. Tapi jelas dia tidak akan menunjukkannya. Dia lebih suka hubungan mereka berjalan seperti ini. Lebih suka melihat gadis itu bersikap apa adanya padanya. Karena jika dia menunjukkan bagaimana pemikirannya pada Florin, dia tidak lagi dapat menebak bagaimana Florin akan menanggapinya.

"Flo!" seru seseorang.

Florin berbalik dan menemukan teman yang memiliki satu jurusan yang sama dengannya. Dia melambai. Teman itu sedang bersama beberapa temannya. "Halo."

"Siapa yang ada di mobil itu, Flo? Dia tidak pernah terlihat bersama denganmu. Keluargamu?" tanya teman dengan rambut yang diikat seperti tanduk itu.

Florin menunjuk ke arah Tristan. Dan si teman mengangguk. "Oh, dia, pamanku."

Wajah Tristan langsung padam cahayanya. Pandangan pria itu mengarah tajam seperti pisau yang siap merobek apa pun yang dipandangnya. Dan sekarang yang menjadi objek pandangannya adalah Colby yang sedang menahan tawa kerasnya. Dia bahkan sampai menghadang mulutnya dengan punggung tangan untuk membuat tawa itu tidak terdengar. Tapi mata jeli Tristan bisa melihatnya.

Mata Tristan juga memberikan aura membunuhnya pada para perempuan yang sekarang lari terbirit-birit melihatnya. Dia memang tampan. Tapi orang pintar dapat melihat bagaimana mata itu dipenuhi dengan ancaman.

Florin yang melihat mereka semua pergi segera menggaruk kepalanya. Rambutnya yang diikat malah menjadi sedikit berantakan. Anak rambut itu keluar dan ada di wajahnya. Gadis itu berbalik menatap Tristan lagi. "Kau menakuti mereka."

"Oh, mereka pasti sangat takut pada pamanmu ini."

Florin terkekeh mendengarnya. Cukup senang karena dia menjawab cepat. Itu membuat Tristan tidak senang dan ketidakbahagiaan Tristan jelas adalah kebahagiaannya. Selama pria itu tidak bahagia, Florin akan bisa tersenyum dengan lebar. "Kau sendiri yang mengatakan akan menjadi papaku. Karena aku punya papa, meski bukan papa kandung. Aku tetap memanggilnya papa. Jadi aku tidak bisa memiliki dua papa. Makanya kau jadi pamanku saja."

Tristan mendengus. "Masuk."

Florin yang mendengarnya menyangkakan pria itu bicara dengan Colby. Tapi Colby malah menatapnya dan memberikan anggukan untuk Florin masuk.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Sleep With Bastard (KAM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang