12

315 59 2
                                    

"Memangnya tidak?" tanya Tristan dengan gamblang.

"Kau gila!" Florin dengan kesal berjalan pergi. Dia bukan orang yang akan dengan senang hati menjelaskan kebenaran dibalik tuduhan. Jika ada yang sudah meragukannya maka itu artinya tidak perlu lagi ada yang dijelaskan. Apa yang dituduhkan pihak lain padanya, dengan senang hati akan dia anggap benar. Tapi konsekuensi dari itu adalah tiada hubungan lagi di antara mereka.

Apalagi dia benci pengkhianatan dan benci kebohongan. Lalu pria itu berpikir dia apa? Seseorang yang rela terpanggang hanya untuk menyenangkan pihak yang Florin sendiri tidak mengenalnya.

"Florin, kau mau ke mana?" Tristan mengejar.

"Tentu saja menjauh darimu." Gadis itu berjalan dengan tangan menyilang di depan tubuhnya. "Kau memiliki kecurigaan sejak awal denganku. Kau harusnya mengatakannya. Saat aku mendekatimu tadi malam, kau harusnya melempar aku menjauh. Bila perlu kau sakiti aku untuk membuat aku mengerti. Bukannya malah meladeniku yang mabuk. Lalu sekarang kau berpikir aku dengan senang hati memanggang diriku hanya demi masuk ke areamu? Kau sudah tidak waras."

"Berhenti!" seru Tristan jengah. Gadis itu dan perangainya yang mudah sekali marah sungguh sulit dihadapi. "Aku bilang berhenti!"

"Kau bisa ke neraka, Tan. Aku tidak membutuhkanmu. Kau—"

Suara Florin lenyap saat Tristan meraih tangannya dan menariknya masuk ke pelukannya. Florin dengan napas yang cepat menatap pagar di mana dia hampir menyentuhnya beberapa saat tadi. Dia terlalu marah dan tidak memikirkannya. Dia lupa soal aliran listrik pada pagar itu. Itu membuat Florin membayangkan kalau dia beberapa saat tadi hampir kehilangan nyawanya.

"Aku tahu sekarang. Aku mengerti. Musuhku tidak akan mendatangkan gadis ceroboh sepertimu ke depanku."

Florin memukul dada Tristan dengan kesal. "Kau mengataiku?"

"Bukankah aku sedang mengatakan kalau aku percaya padamu?"

Florin mendorong dada pria itu kesal. Membawa mereka berjarak dan meninggalkan kenyamanan yang ditawarkan pelukan Tristan beberapa saat tadi. Florin berdeham. Coba mengusir serak di tenggorokannya dan perasaan yang mengatakan kalau dia benar-benar bisa meninggalkan segalanya demi pria ini. Oh, dia sudah gila.

"Aku baru saja mengatakan padamu beberapa saat tadi, kalau pagarnya dialiri listrik. Kenapa kau malah coba memegangnya?"

Mendengar nada penuh dengan omelan itu membuat Florin memandnag Tristan akhirnya dengan kesal. "Bukankah kau yang membuat aku melupakannya?"

"Aku? Kau membuat aku menjadi pihak bersalah?"

"Kalau kau tidak menuduhku, kalau kau tidak memberikan aku pandangan menyebalkan seperti itu, maka aku tidak akan melakukan kesalahan. Kalau sampai aku mati terpanggang oleh pagarmu maka aku akan menghantuimu sampai kau tidak dapat tidur dengan nyenyak."

Tristan mendengus. "Seolah setelah mati kau bisa menjadi hantu."

"Memangnya tidak bisa?" tanya gadis itu penasaran.

Tristan terdiam oleh gadis tersebut. Dia tidak menyangka akan mendapatkan percakapan yang begitu banyak arahnya. Seolah apa pun yang menjadi perbincangan mereka, akan selalu ada celah untuk berdebat. Itu membuat percakapan mereka menjadi tidak akan pernah berakhir dan Trisran tahu, meski tidak mengatakannya, gadis di depannya jelas lapar.

Jadi dia tidak melanjutkan perdebatan mereka dan malah berakhir pergelangan gadis itu lalu setengah menyeret membawanya ke mobil. Memaksa Florin masuk ke mobil dan langsung menutup pintunya saat gadis itu masih saja bertanya soal menjadi hantu.

Entah bagaimana otak Florin diciptakan. Tristan tidak percaya kalau dia meniduri gadis paling mudah marah dan mudah berubah percakapan seperti Florin. Dia bisa lupa pada sesuatu yang baru saja kau katakan. Dan dia bisa penasaran pada hal yang begitu tidak penting.

Florin menatap jalanan saat mobil berjalan dengan pelan. Dia sudah memasang sabuk pengamannya dan melihat bagaimana pintu gerbang itu terbuka. Rumah ini sama sekali tidak mirip dengan rumahnya yang bahkan tidak memiliki gerbang. Tapi kenapa dia malah bisa salah rumah saat mabuk? Otaknya sepertinya memiliki cara kerja sendiri di luar kesadarannya. Dia sampai bingung bagaimana dia terdampar di sini. Seolah alam bawah sadarnya tahu akan ada yang menyambutnya di sini.

Florin menggeleng. Lalu dia terbelalak dengan tidak yakin. Jalanan yang mereka lalu, dia mengenalnya. Saat keluar dari area perumahan mewah ini Florin jelas mengenal jalannya yang sering dia lewati hampir setiap harinya. Dia tidak menyangka kalau dia sangat dekat dengan rumahnya. Bahkan hanya berjarak dua rumah dari rumah Tristan.

Dia tidak salah, jalan masuknya memang mirip. Itu makanya dia sangat yakin kalau dia tidak salah rumah. Rupanya dia berada di sisi jalan lain. Hanya perlu menyebrang jalanan besar di jembatan penyebrangan dan Florin akan menemukan rumahnya. Dia salah mengambil kiri menjadi kanan.

Hebat, dia menyerahkan diri pada pria yang begitu dekat dengan rumahnya. Florin hampir menggigit lidahnya sendiri.

"Ada apa denganmu?" tanya Tristan yang akhirnya memperhatikan keresahan gadis itu. Karena sejak tadi yang di lakukan Florin adalah mengatur napasnya.

Florin kelabakan. Dia memandang Tristan dan segera memberikan gelengan dengan gerak yang berlebihan. "Tidak ada. Ada apa denganku? Tdak ada apa-apa. Apa yang kau katakan?"

Tristan memandang sekitar. Dia mendengus. "Kau menemukan di mana rumahmu?"

Florin hampir memaki. Apa pria itu mesin pendeteksi kebenaran? Kenapa dia selalu menangkap apa yang coba disembunyikan. Tapi Florin yang tidak mau Tristan tahu, jangan sampai ketahuan pria itu menjadi masalah di masa depan. "Tidak. Kau salah. Rumah apa? Aku tidak punya rumah sama sekali."

Alis Tristan memberikan ejekan. "Baiklah. Kau tidak punya rumah," setujunya.

"Ya. Aku tidak punya."

"Kau bisa tinggal denganku kalau kau tidak punya."

"Apa?!" suara gadis itu meninggi.

Tristan menyentuh kupingnya.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Sleep With Bastard (KAM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang