9

250 59 1
                                    

Florin segera membekap mulut pria itu dengan tangannya, dia melakukannya dengan refleks. Tapi saat dia melihat pandangan mereka yang bertemu dan apa yang dia lakukan, Florin segera menarik tangannya dan berdeham. "Jangan membahasnya lagi."

"Kenapa? Sekarang tidak mau membahasnya setelah tahu kebenarannya?"

Florin berdeham. Dia menyerahkan tablet itu kembali ke pemiliknya. "Aku bersalah. Aku minta maaf padamu."

"Bagus. Senang mendengarnya."

"Sekarang kau bisa melepaskan aku?"

Pria itu terdiam beberapa saat dan akhirnya mengangkat tangannya. Keduanya. Itu membuat Florin berdiri dan membungkus tubuhnya dengan selimut putih itu. Dia berdiri kaku di depan pria itu. Tidak tahu bagaimana harus bicara dengannya saat dia sendiri tahu dirinya salah. Dia salah dan masih bersikeras menyalahkan orang lain. Bahkan dia menyebut pria itu dengan kata-kata kasar yang akan membuat pria lain pastinya akan langsung mengamuk.

Masih bagus pria itu menyambutnya dengan senyuman dan bukannya menampar mulutnya. Malah dialah yang sibuk memukul pria itu. Mengingat kelakuannya, dia bahkan tidak dapat memaafkan dirinya sendiri. Jadi bagaimana mungkin dia berharap pria itu juga akan memaafkannya.

Lalu bagaimana caranya mengatakan pada pria itu apa keinginannya, saat dia sendiri terlalu malu untuk bahkan sekedar menyuarakan kata.

"Kau tidak mandi? Kamar mandinya di sana, kalau kau mungkin lupa." Pria itu menunjuk ke arah satu pintu yang paling dekat dengan ranjang.

Dia tidak mengingat apa pun. Ingatannya diblokir oleh kepulan asap yang membawanya pada kebuntuan. Pria itu seharusnya tahu, mengingat reaksinya. "Namamu siapa?" tanya Florin akhirnya.

Pria itu memandangnya seksama. "Kau rupanya tidak ingat semuanya."

Dan pria itu tidak tahu. Itu membuat Florin hanya menipiskan bibirnya.

"Tristan. Namaku."

"Tan, bisakah kau meminjami aku baju?"

Seringai pria itu terbit. "Beberapa tidak berubah meski kau mabuk atau sadar."

"Ya?"

Tristan menggeleng. "Bukan apa-apa. Kau yakin mau mengenakan bajuku? Hanya ada kemeja dan hoddie. Itu jelas bukan tipe yang akan kau kenakan untuk pulang."

"Hoddie tidak masalah."

"Baik. Bagaimana dengan branya dan celana dalamnya?"

Florin berdeham. Dia mengalihkan pandangannya. Rasanya pipinya kembali memerah. Seperti ada yang sengaja membakarnya. Florin sampai mengibaskan tangannya ke wajahnya. Satu tangannya masih sibuk memegang selimut yang dia rasa bisa meluncur kapan saja. "Kau juga membuangnya?" tanya Florin coba bersuara santai meski saat ini dia begitu gugup.

Mereka memang melakukannya tadi malam. Tapi jelas-jelas malam itu dia mabuk dan tidak sadar sama sekali. Dia tidak ingat dan yang dia dapat hanya rasa sakit di pagi harinya. Jadi dia tidak terbiasa dengan kata-kata frontal ini. Apalagi saat pria itu mengatakannya dengan santai. Seolah itu percakapan sehari-hari mereka.

Tristan hanya memberikan pandangan santai untuk pertanyaan Florin. Pria itu duduk menyilang kaki. Satu tangannya berada di paha dan memakai tangannya sebagai sandara pipinya.

"Hoddie itu cukup. Aku akan menahannya."

"Kau tidak akan bertahan. Hoddienya cukup pendek untuk kau kenakan. Dan ...."

"Katakan saja, bagaimana aku akan pulang?" Florin akhirnya menanyakannya secara langsung. Bicara dengan Tristan sungguh membuatnya menjadi berbelit-belit.

"Mari pergi ke pusat pebelanjaan. Aku akan membeli pakaian untukmu. Setidaknya aku harus bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan pada gadis mabuk."

Florin meringis. "Kurasa tidak perlu. Itu akan berlebihan. Aku hanya butuh baju untuk dikenakan pulang. Tidak perlu sampai membeli yang baru."

"Aku bersikeras." Tristan berdiri di depan Florin. Membawa intimidasi pada gadis muda yang masih mempertahankan selimutnya tersebut.

Florin berdeham melegakan tenggorokannya. "Bagaimana dengan pakaian yang akan aku kenakan ke sana? Ke pusat pebelanjaan itu?"

"Aku akan mencarinya untukmu. Jadi, setuju?"

Apa dia bahkan bisa berdebat? Jelas-jelas pria ini memiliki pembawaan yang apa pun yang diinginkannya akan dia dapatkan. Melawannya sungguh tidak mudah. Dia mengangguk pelan. Kemudian bergerak menyeret selimutnya menuju ke arah kamar mandi.

Masuk ke kamar mandi, Florin langsung menutup pintu dan menguncinya. Dia mendesah dengan lelah. Sepertinya tidak cukup kehilangan pria yang dicintainya, kini dia menyeret seseorang ke dalam kekacauan hidupnya. Bahkan dia tidak menemukan ponselnya di mana pun. Entah di mana dia meninggalkannya, dengan kecerobohannya, dia jelas tidak akan terkejut kalau benda itu sudah hilang lama. Tapi ponsel itu selalu kembali padanya karena selalu ada yang menemukannya.

Florin melangkah dengan lelah ke arah wastafel. Menemukan kamar mandi itu sangat mewah. Dia sepertinya berhubungan dengan pria yang memiliki nama besar. Karena Florin selalu merasa pernah melihat Tristan di suatu tempat. Entah di mana, tapi dia yakin pada acara penting.

Florin memikirkannya, sayangnya dia tidak menemukan di mana tepatnya.

Dia menggeleng dan sudah akan melepaskan selimutnya. Tapi saat dia menatap ke arah cermin, dia melongo tidak yakin. Dia perlu menjernihkan pikirannya. Apa dia berhubungan dengan manusia atau malah dengan serigala yang menandai miliknya.

Kulitnya penuh dengan kebiruan. Pakaian biasa tidak akan dapat menyembunyikan jejak-jejak yang ditinggalkan. Warna itu sungguh mengganggu. Dia seperti terkena penyakit kulit. Bahkan sekarang Florin tidak berani melihat ke balik pakaiannya. Dia takut akan menemukan yang lebih mengerikan di sana. Tapi Florin jelas tidak akan meninggalkan masalah ini di belakang.

Dia kembali sibuk membungkus tubuhnya dengan selimut. Lalu setelah yakin selimut itu tidak akan melorot, dia segera keluar dari kamar mandi. Dia membuka pintu dengan kasar. Menemukan Tristan yang berdiri di pinggir ranjang.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep

Sleep With Bastard (KAM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang