Kini matahari sudah tenggelam sepenuhnya. Di sebuah restoran ternama terdapat dua keluarga yang sedang melakukan pertemuan. Berbincang untuk mendiskusikan banyak hal, terutama mengenai anak-anak mereka.Sudah hampir satu jam mereka berbincang tanpa ada yang menyentuh hidangan yang satu persatu disajikan oleh para pelayan. Hal itu tentu tak jauh dari raut seorang anak yang sudah sebal karna menahan lapar.
Danu– teman ayahnya atau bisa dibilang paman jauhnya itu melirik pada anak tersebut.
Danu tertawa melihat anak saudaranya itu, lalu menyuruh pelayan untuk menyiapkan meja lain guna di tempatkan oleh anak-anak mereka.
"Iel sudah lapar? Maaf menunggu lama ya. Iel bisa ke meja di sebelah sana jika mau makan, ajak kakak mu yang lain."
Si empu yang dipanggil menoleh pada Danu, kemudian melirik pada meja yang juga terdapat makanan. Iel ingin mengiyakan tawaran paman Danu. Sangat ingin. Perutnya sudah keroncongan sedari tadi minta di isi.
Namun, Iel sadar jika ia tidak boleh langsung memutuskan sendiri langkah berikutnya. Maka netranya melirik pada sang ayah yang perlahan membelai rambutnya.
"Tidak apa-apa, Iel boleh kesana kok. Ayah membolehkan," bisik Raja dengan senyum simpulnya.
Ah Iel jadi bimbang, ragu karena ayahnya seperti tidak biasanya dengan mudah memperbolehkan dirinya pergi dari meja makan. Terlebih ini dengan paman– ah tidak, lebih tepatnya juga rekan kerja ayah. Bisa dibilang makan malam kali ini cukup formal.
"Benar boleh?" Mata Iel mengerjap, terlalu takut menyelami gelapnya netra sang ayah.
"Tentu. Aray, ajak adik-adikmu dan kak Nilas ke meja sana." Aray yang terpanggil menoleh lalu mengangguk dan mulai berdiri untuk meminta izin kepada orang dewasa lainnya karna akan pindah meja. Tiga orang dewasa mengangguk sembari tersenyum memberikan tanda memperbolehkan Aray.
Kemudian di mulai dari Aray yang sedikit membungkuk tanda berterimakasih di ikuti oleh tiga orang lainnya, Mereka berempat mulai beranjak memisahkan diri menuju meja yang sudah disiapkan.
Iel memekik senang yang justru mendapat lirikan dari Danes– si tengah. Lalu bocah itu mengatupkan bibirnya dan tersenyum malu karena bertingkah kelewat batas.
Anilas, Selaku tertua diantara keempatnya memulai mengambil beberapa hidangan. Memberikan makna yang lain bisa ikut memulai kegiatan makan mereka.
Sementara di meja sebelumnya, Tania tersenyum melihat keempat anak tersebut akur dan saling mengajari sopan santun.
"Iel tidak pernah berubah, selalu yang paling bersemangat soal makan. Jangan terlalu keras padanya, Raja." Ujar Tania, mendengar itu Hanna selaku pasangan Raja mengangguk setuju. Lalu menanggapi,
"Benar, Aku sudah menegurnya beberapa kali tapi dia sangat keras kepala," Hanna terkekeh begitu juga dengan Tania yang mengerti dengan sifat keras kepala Raja.
Raja menggeleng, menatap ketiga orang yang menertawainya.
"Kau selalu memojokkanku Hanna. Jangan ikuti kelakuan kakakmu itu, Tania,"Danu ikut terkekeh dan Raja menangkap hal itu lalu nafas jengah ia keluarkan,
"Danu, kau juga jangan seperti mereka." Lanjutnya lagi sembari meraup wajahnya malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBLIVION
General FictionTujuh kepala yang tinggal di dalam satu atap, saudara satu kakek tapi asing satu sama lain. Bagaimana mau hidup bersama jika terus saling tidak peduli? Rumah perlahan-lahan menjadi sesuatu yang memuakkan hanya dalam enam bulan. Ingin pulang tapi ti...