Senin kembali menyapa kehidupan tujuh pemuda satu atap itu. Terhitung sudah mau seminggu ketujuhnya tinggal bersama. Namun yang terlihat akrab baru Anilas, Aray, Iel, dan juga Bian.
Sesekali Adma bergabung tapi tidak ada yang berani menganggu kesibukan pemuda tersebut perihal belajar.
Berbeda dengan Danes yang memang menghindari semua penghuni, sama seperti Esa.
Kini Bian tengah berdiri di Halte yang tak jauh dari sekolahnya dan juga Danes. Sedikit tertinggal jadwal bus karena piket kelas yang akhirnya memaksakan Bian harus menunggu limabelas menit untuk bus selanjutnya.
Bian menghela nafas jengah, bosan karena sedari tadi hanya bisa memainkan ponsel. Tanpa tau siapa yang bisa ia hubungi untuk menghilangkan bosannya.
Belum merasa terlalu dekat dengan enam pemuda lainnya hingga perasaan sungkan jadi hilang dan timbul kala ia ingin berinteraksi dengan salah satunya.
Bian melepas fokusnya dari ponsel, mencoba mengalihkannya dengan menatap rintik-rintik hujan. Memikirkan kapan tepatnya rumah yang ia tempati benar-benar seperti yang di harapkan para orang dewasa sebulan lalu?
Bian seperti ingin menertawai sunyi dan hampa yang justru tidak pernah menyingkir dari rumah itu.
Cara apa kiranya yang bisa membuat enam pemuda lainnya menjadi lebih perhatian dan menjaga satu sama lain. Perihal perhatian saja sudah gagal sebab banyak yang tak saling menanyakan kabar karena terhalang gengsi.
Begitu juga dengan menjaga satu sama lain yang kemarin juga tak kalah gagal saat Bian menemukan Danes yang pulang dengan penuh luka.
Ah Bian jadi mengingat kembali Danes tiga hari yang lalu, Bian belum sempat mengecek lagi kondisi anak itu.
Benar-benar kebiasaan tujuh pemuda yang saling acuh harus disingkirkan jauh-jauh.
Netra Bian masih memandang rintik-rintik sisa hujan tadi siang. Jalanan menjadi basah menciptakan harum khas tanah.
Suara klakson dan mesin-mesin motor yang saling bersahutan sukses mengalihkan perhatian Bian.
Disana dari arah kanan, Bian amati beberapa motor yang tampak tengah saling mengebut. Entah apa yang dikejar, sepertinya motor yang baru saja lebih dulu melewati Bian.
Tunggu sebentar!
Bian dengan segera menoleh pada motor yang masih terlihat di ujung jalan sebelum berbelok. Kemudian netranya melebar sebab terkejut. Bian kenal motor itu!
Itu motor milik Danes!
Tak salah lagi ketika Bian melihat jaket yang dikenakan si pengendara. Beberapa motor yang mengikuti Danes juga sudah berbelok di ujung jalan.
Perasaan khawatir semakin merambat dalam benak Bian, tapi kala Danes yang dulu selalu menolaknya mentah-mentah seolah menyuruhnya untuk tidak peduli.
Bian melamun menimang-nimang untuk mengikuti Danes atau bersikap tidak peduli dan bergegas pulang guna mengistirahatkan badanya yang sudah kurang nyaman sebab dingin angin yang berhembus seperti menusuk kulitnya hingga tulang.
Tenggelam dalam lamunan hingga tak sadar jika bus yang ia tunggu sudah datang,
"Nak, kau tidak akan naik?" Seru pengemudi bus, Bian dibuat tersadar."Ah iya!"
___
[ ≠ ]
Bocah berusia enam tahun itu kini sedang duduk di ruang tengah keluarga Haidar, Rutinitas setiap akhir pekan menginap di rumah besar tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
OBLIVION
General FictionTujuh kepala yang tinggal di dalam satu atap, saudara satu kakek tapi asing satu sama lain. Bagaimana mau hidup bersama jika terus saling tidak peduli? Rumah perlahan-lahan menjadi sesuatu yang memuakkan hanya dalam tiga bulan. Ingin pulang tapi ti...