Kepingan [11]

166 23 11
                                    

Hari Sabtu, weekend terakhir di bulan Oktober sekaligus jadwal check up terakhir Bian di bulan ini. Bangun dengan semangat yang menggebu, kapan terakhir kali Bian bisa bersemangat ini untuk menemui dokter muda yang merawatnya.

Semangat yang tinggi membuat Bian bangun lebih pagi hari ini, selesai mandi pemuda itu segera berjalan keluar dari kamar untuk pergi ke dapur. Sebetulnya Bian sudah bangun lebih pagi, namun nyatanya Anilas tetaplah menjadi kepala yang bangun paling pagi dari yang lainnya.

"Eh kak Nilas, udah bangun juga." Anilas yang baru akan memulai acara memasaknya menoleh mendapati Bian yang sudah terlihat fresh di pagi ini.

"Baru aja. Lo seger banget, habis mandi?" Bian mengangguk menghampiri Anilas untuk menawarkan bantuan.

"Iya, jam delapan harus ke rumah sakit jadi siap-siap dari jam segini. Ada yang perlu dibantu ga, kak?" Anilas menggeser posisinya membiarkan Bian yang menggantikan dirinya untuk memotong bahan yang akan ditumis.

Bian dengan senang hati menggantikan untuk memotong perbawangan tersebut. Anilas beralih membuka kulkas mengeluarkan beberapa bahan untuk memasak menu sarapan nasi goreng.

"Semangat banget yang mau ditemenin check up sama Adma." Anilas kembali ke sisi Bian dengan bahan ditangannya, menyalakan kompor dan menunggu minyaknya panas.

Bian diam-diam tersenyum malu mendengar godaan Anilas. Si tertua di rumah ini memang selalu bisa menebak isi hati orang lain. Anilas tersenyum menyiratkan kelegaan menatap Bian yang tengah fokus dengan acara memotongnya. Sembari menunggu minyak panas, Anilas kembali membuka suara.

"Akhirnya ya, gue lega mereka pelan-pelan ngebales usaha lo. Gue bersyukur lo sanggup bertahan sama mereka yang cueknya minta ampun dulu."

Semangat Bian yang awalnya menggebu menjadi sedikit berkurang  dengan ucapan Anilas barusan. Ah hal ini nampaknya masih bersifat sensitif untuk Bian. Gesekan pisau yang awalnya bersemangat kini perlahan memelan.

Anilas yang menyadari itu terkesiap, gelagapan dengan reaksi Bian yang tidak ia pikirkan.

"Eh, sorry bukan maksudnya buat ungkit masa lalu—"
Bian menaruh pisau menciptakan bunyi yang cukup membuat Anilas tidak berani melanjutkan kalimat permintaan maaf-nya.

Bian berbalik menatap raut wajah Anilas yang sudah risau kemudian ia angkat sedikit senyumnya agar mengurangi kegelisahan Anilas.

"Gapapa kak, Aku kayanya masih sensitif kalau bahas hal ini. Mungkin kedepannya kita harus jalanin alur nanti seperti apa, ga perlu ungkit hal yang udah lalu— eh kak minyaknya udah panas!"

Anilas sontak ikut menoleh ke arah penggorengan dan benar, terlihat letupan-letupan kecil dari minyak yang sudah panas. Fokus Anilas teralihkan untuk beberapa menit. Membuat Bian memilih untuk pergi membangunkan penghuni lainnya. Namun ketika Anilas merasakan presensi Bian yang tak lagi didekatnya, ia berbalik.

Memanggil Bian yang belum jauh berjalan dari posisi sebelumnya,

"Bian!— maaf soal yang tadi, lo bener. Mulai sekarang, Ayo jalanin alur kedepannya tanpa ingat masa lalu lagi!" Seru Anilas mantap dengan tangannya yang mengepal menggantung di udara tanda memberikan semangat.

Bian tertawa melihat tingkah yang tertua itu, mengangguk-angguk lucu lalu ikut membentuk tanda semangat dengan mengepalkan kedua tangannya.

"Aku mau bangunin yang lain dulu, semangat!"

Kepergian Bian dari dapur, menyisakan Anilas yang tersenyum sendu menatap punggung sempit milik bocah enam belas tahun tersebut.

______

OBLIVIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang