Walau bergerak dengan tertatih kaki-kaki itu berjalan kesana-kemari di depan sebuah kamar. Selepas Esa memutuskan berangkat ke kampus, Danes akhirnya berujung memberanikan diri untuk menemui Bian.
Menyampaikan apa yang Esa perintahkan. Namun nyatanya Danes masih belum cukup menata setiap kata yang akan ia ucapkan nanti saat berhadapan langsung dengan Bian.
Maka berakhirlah ia hanya mondar-mandir tidak jelas di depan kamar Bian. Menimang-nimang untuk bicara secara tatap muka atau melalui ponsel saja.
Tapi bahkan Danes terakhir kali menghubungi Bian setahun yang lalu. Tepatnya saat mereka masih duduk di jenjang SMP.
Danes menghentikan langkahnya yang tidak tentu arah dan justru malah menimbulkan nyeri pada kakinya yang cedera kemudian menghirup oksigen sebanyak-banyaknya guna mengisi kegugupan yang sedari tadi hinggap.
Tangannya bergerak naik untuk mengetuk pintu di saat hatinya sudah mantap maju meminta Bian datang ke kantor polisi.
Belum sempat pintu kamar itu Danes ketuk. Si pemilik kamar rupanya sudah lebih dulu membukanya. Bian terlihat berdiri disana dengan pakaian yang sudah rapih.
Sementara tangan Danes masih senantiasa menggantung di udara. Ah sial, Danes segera menarik kembali tangannya. Berdeham beberapa kali guna menghilangkan canggung yang menyerang.
Bian maju melangkah keluar, begitu pula dengan Danes yang mundur memberikan ruang untuk Bian menutup pintu kamar dan menguncinya.
"Mau kemana lo?" Danes suarakan tanyanya setelah berdeham beberapa kali.
Bian sedikit menoleh dengan tangannya yang masih memutar kunci.
"Check up" Singkat Bian, tangannya sibuk memasukkan kunci kamar kedalam saku celananya. Danes mengangguk kaku mendengar jawaban Bian.
Di sisi lain Danes seperi orang yang terpergok mencuri. Tangannya tak bisa diam di sisi tubuhnya. Berkali-kali merapihkan bajunya yang sudah rapih. Toh dia hanya memakai baju rumah.
Bian dibuat heran dengan tingkah pemuda di hadapannya ini. Akhirnya ia memilih untuk kembali melanjutkan langkahnya.
Kak Andra—Dokter yang akan memasuki usia kepala tiga sekaligus dokter yang menangani Bian pasti sudah menunggu anak itu sedari tadi.
Janji temu jam sepuluh pagi namun nyatanya kini sudah mau jam sebelas Bian justru baru akan berangkat.
Suara Danes menginterupsi kembali langkahnya untuk berhenti. Maka Bian berhenti di ambang tangga tanpa membalikkan badannya.
"Bang Esa suruh lo dateng ke kantor polisi jam satu, mereka minta kesaksian lo di pabrik kemarin."
"Kamu korbannya, kok ga dateng?" Bian membalikkan badan membuat Danes kembali gugup.
Danes merutuki dirinya kenapa harus terlihat gugup dengan Bian yang perawakannya saja masih terlihat seperti anak SD.
"Ya.. ya gatau! Mungkin besok? Kondisi gue ga memungkinkan buat dateng ke sana."
"Justru karna ga memungkinkan jadinya lebih menyakinkan polisi, kamu beneran di apa-apain mereka."
Sialnya, Danes membenarkan ucapan pemuda lebih tua dua bulan darinya itu.
Danes menggaruk kepalanya yang tak gatal,
"Oke, gue nanti nyusul kesana. Puas?"Danes menatap wajah Bian yang tersenyum simpul terlihat mengiyakan. Bian mengangguk-angguk, kemudian menyelonong begitu saja melanjutkan tujuannya yang akan pergi ke rumah sakit.
____
Andra sedari tadi terus menerus mengacuhkan pasiennya yang tengah merengek sejak dua puluh menit yang lalu. Padahal bocah itu sedang di beri infus sebab kelakuannya sendiri yang membuat tubuhnya kambuh lebih dari yang diperkirakan selama sebulan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBLIVION
General FictionTujuh kepala yang tinggal di dalam satu atap, saudara satu kakek tapi asing satu sama lain. Bagaimana mau hidup bersama jika terus saling tidak peduli? Rumah perlahan-lahan menjadi sesuatu yang memuakkan hanya dalam enam bulan. Ingin pulang tapi ti...