Sudah memasuki hari ketiga, ketujuh manusia tersebut memutuskan tinggal dibawah atap yang sama. Selama itu pula jarang sekali ada yang bercengkrama, selain Aray yang terkadang menemani Anilas di pagi hari saat sedang memasak sarapan.
Adma yang beberapa kali juga ikut bergabung di ruang tengah bersama dua anggota termuda, Danes dan Iel.
Bian baru sadar sudah selama ini dalam rumah yang sama tapi ia sama sekali belum melihat Esa sejak hari pertama datang kemari. Bahkan sehari sebelum pindahan Bian juga belum bertatap muka dengan si sulung.
Saat ini jam menunjukkan pukul setengah empat sore. Belum ada tanda-tanda penghuni lainnya pulang, Hanya ada Bian yang beberapa menit lalu sudah pulang dari sekolah.
Bian tidak seperti Danes yang mempunyai jadwal ekskul dan Iel yang memiliki rapat osis.
Tidak pula seperti Aray yang Bian yakini sedang sibuk dengan keperluan lomba dance nya dan tentu tidak seperti Adma yang pergi ke perpustakaan nasional untuk belajar guna menyiapkan kelulusan SMA nya tahun depan.
Bian kini sendiri di ruang tengah, memandang kosong televisi di hadapannya. Inginnya menonton tapi justru pikirannya tenggelam di tengah sunyi yang mengelilingi.
Bian tidak berharap dengan Esa yang sudah jelas juga tidak peduli padanya. Esa itu kaku, pendiam, tidak bisa mengekspresikan perhatiannya. Mau berharap apa Bian, jika Esa akan datang dengan ceria sembari membawa makan malam.
Ah iya perihal makan, Bian baru ingat terakhir makan tadi siang saat jam istirahat kedua di Sekolah. Bunyi perutnya berhasil membangunkan Bian dari lamunannya.
Bian memutuskan untuk beranjak ke dapur, mencari apakah ada sesuatu yang setidaknya bisa menahan bunyi perutnya ini.
Lemari satu persatu ia buka namun Bian tak kunjung menemukan satupun bahan pokok makanan, hanya terdapat bahan-bahan dapur biasa. Bian menghela nafas lelah, mau masak apa dia hanya dengan perbawangan, gula, garam, lada, dan penyedap.
Tangannya kini beralih membuka kulkas di pojok dapur. Tidak ada yang membuat matanya seolah-olah menemukan harta karun, lagi-lagi Bian hanya menemukan bahan dapur seperti daun bawang dan tomat.
Perutnya tak kunjung berhenti berbunyi, Bian benar-benar kelaparan. Oh astaga bisakah penghuni lainnya pulang lebih cepat?
Bisa saja Bian pergi mengambil ponselnya kemudian memesan makanan tapi bahkan Bian masih menumpang ATM dengan Adma. Uangnya yang ia pegang juga sudah habis karna keperluan sekolah.
Sekali lagi Bian menghela napas lelah, ingin menutup pintu kulkas namun terhenti ketika netranya menangkap sekotak susu di pintu kulkas. Bian seperti mendapatkan secercah harapan ditengah perutnya yang terus meronta.
Senyum mengembang, Bian meraih kotak susu tersebut lalu mencari gelas untuk ia tuangkan di dalamnya dan meneguknya perlahan.
"Eh Bian udah pulang?" Pertanyaan tersebut sukses membuat Bian tersedak hingga terbatuk-batuk.
Anilas– si pelaku dengan terburu-buru mendekat, menepuk-nepuk punggung Bian guna membantu meredakan batuknya. Bian masih berusaha menghilangkan batuknya yang kini mulai menciptakan sesak pada dadanya, Tangannya tak terkendali begitu saja meremat dada agar sesaknya hilang.
Anilas lihat mata Bian mengerjap berkali-kali hingga semakin khawatir ia dibuatnya. Sementara Bian berusaha untuk menahan sesaknya agar Anilas tak dapat memergoki sakit yang mendera dadanya. Batuk perlahan menghilang, begitu juga sesaknya yang sudah tidak sakit dari sebelumnya.
Bian melepas cengkraman tangan di dadanya lalu menegakkan kembali badanya dan menatap wajah Anilas yang masih nampak khawatir.
"Aku udah gapapa, kak Nilas." Ujar Bian, di balas dengan helaan nafas lega oleh Anilas.

KAMU SEDANG MEMBACA
OBLIVION
General FictionTujuh kepala yang tinggal di dalam satu atap, saudara satu kakek tapi asing satu sama lain. Bagaimana mau hidup bersama jika terus saling tidak peduli? Rumah perlahan-lahan menjadi sesuatu yang memuakkan hanya dalam tiga bulan. Ingin pulang tapi ti...